Keterlibatan CIA  Dalam Gerakan Pemberontakan Di Indonesia Termasuk PRRI, Permesta Dan DI/TII

Artikel Sejarah

banner iklan 468x60

Operasi rahasia CIA dalam menggoyang kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1957-1958

Pemerintahan Dwight Eisenhower, Jenderal bintang 4 yang memimpin armada sekutu dalam PD II, tak ingin komunis membesar di Indonesia. Berlanjut hingga tahun 1965 saat penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno yang memakan waktu hampir 2 tahun melalui kudeta merangkak Letjen Soeharto.

Eisenhower menyarankan CIA, badan intelijen AS, membantu angkatan udara rahasia bagi pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. CIA dalam kuasa Eisenhower punya pengalaman membangun sebuah operasi di Guatemala untuk menjungkalkan pemerintahan sayap kiri Jacobo Arbenz pada 1954.

Segera kemudian CIA mencari jalan untuk memberi bantuan pesawat dan bom bagi unit tempur udara Permesta.

Indonesia menjelang akhir 1950-an adalah Indonesia yang penuh gejolak dan goncangan. Rakyat di daerah termasuk Sulawesi merasa bahwa pemerintah pusat di Jakarta, sesudah Republik Indonesia Serikat dibubarkan oleh Sukarno pada 1950, tidak bekerja dengan efektif.

Pembangunan stagnan. Uang lebih banyak beredar di Jawa. Persaingan di tubuh perwira dan pemimpin politik makin meruncing. Kesadaran kedaerahan dan etnis menguat dan mendorong pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi.

Richard Zacharias Leiriza dalam PRRI-Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1996), mengisahkan bagaimana Herman Nicolas “Ventje” Sumual, Soemitro Djojohadikusumo, dan Ahmad Husein, didatangi oleh agen-agen CIA.

Sumual adalah salah seorang pencetus Permesta pada 2 Maret 1957. Bersama para pemimpin dari Minahasa, Bugis, Makassar, dan Ambon, ia mendeklarasikan ide Permesta di kediaman Andi Pangerang Petta Rani, seorang aristokrat Bugis dan Gubernur Sulawesi.

Soemitro adalah mantan menteri Keuangan tahun 50-an yang kabur ke Padang demi menghindari penangkapan di Jakarta. Adapun Ahmad Husein adalah komandan militer Sumatera Barat yang mengatur pertemuan di Sungai Dareh, sebuah kota kecil di sebelah timur Kota Padang,

untuk membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958. Hashim termasuk salah satu yang terlibat dalam PRRI.

“Ketika kami sedang makan di sebuah restoran di Singapura, beberapa orang barat berpakaian santai mendatangi kami. Mereka mengetahui kami sedang memerangi Sukarno, sebab itu mereka bersedia memberi bantuan senjata. Ketika itu kami memang sedang berusaha membeli senjata.” cerita Sumual dalam PRRI-Permesta.

Menurut Barbara Harvey dalam artikel “Permesta : Pemberontakan Setengah Hati (1984), PRRI/Permesta dibentuk demi membendung komunisme di Indonesia. Para pemimpin Permesta dari Minahasa, yang menyebut gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur, menjual kopra secara ilegal dengan Singapura. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta karena langkah pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra dengan menutup Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara.

Mereka memisahkan diri dari provinsi utama Sulawesi di Makassar, dengan membentuk provinsi Sulawesi Utara pada September 1957. Dengan menentang pemerintah pusat, para pemimpin Minahasa membangun jalan, sekolah, jembatan, gereja, dan bahkan universitas lewat uang penjualan kopra. Harvey menulis, perasaan kecewa orang Minahasa yang semula didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.

Di Singapura, Sumual, Soemitro, dan Husein bertemu dengan Foster Collins, kepala kantor CIA Singapura. Collins berjanji membantu persenjataan untuk Permesta. Dari sana, Sumual meneruskan perjalanan ke Manila, tempat ia memperoleh simpati Angkatan Bersenjata Filipina.

Di Filipina terdapat Pangkalan Militer Clark milik Amerika. Menurut Kolonel Fletcher Prouty, mantan perwira Angkatan Udara Amerika dalam The Secret Team (1973), “Timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan Filipina. Orang-orang Indonesia, Filipina, China (Taiwan), Amerika dan para serdadu sewaan dan negara-negara lain juga telah siap di Okinawa dan Filipina untuk membantu pemberontakan.

Persenjataan modern dari Amerika antara lain : senapan ringan kaliber 12,7mm, RPG atau bazoka, granat semiotomatis, senapan serbu infanteri, dan senjata penangkis serangan udara.

Menurut pengakuan Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat saat terjadi pemberontakan akhir tahun 50-an, dalam film dokumenter ABC : Riding the Tiger, senjata-senjata itu dijatuhkan dari pesawat Amerika. Dukungan diam-diam Amerika tak sekadar senjata.

“Pihak Angkatan Darat Amerika memberikan pelatihan kemiliteran, Angkatan Laut membantu kapal selam, Angkatan Udara menyediakan dukungan pesawat pengangkut serta mempersiapkan modifikasi bagi Pesawat B-26,” tulis Prouty.

Menurut Yoseph Tugio Taher dalam “Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (2010)”, para pelatih militer Amerika datang ke Sumatera, tempat pemberontakan PRRI, dengan berkedok sebagai pegawai perusahaan minyak Caltex (merek minyak bumi Korporasi Chevron).

Sementara di Sulawesi Utara, tempat pemberontakan Permesta, para serdadu Amerika bisa lebih mudah karena lokasinya dekat dengan Filipina. Terbukanya lautan di utara Sulawesi tentu jadi keuntungan tersendiri bagi para pemberontak Permesta.

Awal tahun 1950-an, ditulis Ken Conboy dalam Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), pernah ada orang-orang Indonesia dari Jawa yang dikirim ke pangkalan Amerika di sekitar Saipan (pulau terbesar di Kep. Mariana Utara, samudera Pasifik Barat) dijemput dari perairan utara Sulawesi.

Mengenai bantuan diam-diam dari negara yang sepaham dengan Amerika, dalam buku Benny Moerdani : Profil Prajurit Negarawan (1993) yang ditulis Julius Pour, perwira militer Daan E Mogot mengaku, “… kami tidak pernah kekurangan senjata…..

Dari Italia, kami malahan mendapatkan tawaran kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan dengan mudah bisa kami dapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Filipina.”

Di Filipina, Kapten Lendy Tumbelaka, salah satu perwira yang ikut Permesta, sudah berada di Pangkalan Militer Clark. Tugasnya mengurus pengiriman pesawat dan perlengkapan lain dari Filipina….

“Di Pangkalan Udara Clark telah berjejer sejumlah pesawat pembom yang dicat hitam hendak dikirim kepada Permesta,” ujar Tumbelaka dalam buku PRRI-Permesta. Sayangnya tak semua pesawat itu sampai kepada pemberontak. Meski belum punya armada laut yang baik, setidaknya pasukan Permesta punya pesawat pembom berkat bantuan dari Amerika. Mereka punya armada udara yang cukup mengganggu di sekitar Indonesia timur bernama Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), yang dipimpin Petit Muharto, tentara asal Jawa.

Begitupun seorang pilot AUREV Permesta, bernama Hadi Supandi. Pilot terkenal yang bergabung di AUREV adalah pilot CIA, Allen Lawrence Pope, veteran Perang Korea yang menerbangkan pesawat pembom.

Menurut Julius Pour, AUREV punya pesawat angkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang P-51, pesawat amfibi Catalina, dan pesawat pembom Invader B-26. Untuk mendukung operasional armada udara, Permesta punya 40 awak….

Semua di bawah komando Petit Muharto, komandan pangkalan AURI di Sulawesi Utara, yang terjebak dalam konflik Permesta. Aksi AUREV Permesta tak main-main : Menenggelamkan beberapa kapal asing San Slaviance & Armenia & KRI Hang Tuah, kapal perang milik Angkatan Laut Republik Indonesia.

Namun, nahas menimpa pesawat pembom yang dikendarai Allen Pope dan operator radio Jan Harry Rantung. Pada 18 Mei 1958, saat mereka menerbangkan pesawat B-26 di atas Pulau Ambon, mereka ditembak dalam pertempuran sengit oleh Kapten Ignatius Dewanto yang menerbangkan pesawat Mustang.

Kedua awak pesawat itu pun ditawan di Pulau Hatala, dekat Ambon. Kejadian itu bikin malu Amerika Serikat. Pope tentu dikait-kaitkan dengan CIA. Menurut Harvey, pemerintah Amerika segera menghentikan keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Setelahnya, Amerika pun mengubah strateginya. Segala bantuan untuk pemberontak ditarik ke Markas Clark di Filipina. Terpaksalah Sumual dan pasukan Permesta mati-matian bergerilya melawan pemerintah pusat di hutan-hutan Sulawesi Utara.

AH Nasution (KASAD), memahami, gerak cepat adalah kunci keberhasilan mengatasi pemberontakan di Sumatera & Sulawesi. Ia mulai menyisir lewat pasukan penerjun payung di Pekanbaru dan mendaratkan armada laut di Padang (1958). Gerak cepat ini berhasil menyudutkan pasukan PRRI ke hutan.

Di Sulawesi, usai pesawat B-26 tertembak jatuh dan CIA menarik dukungan, konflik internal pecah di tubuh angkatan gerilya Permesta. Pasukan Nasution berhasil menduduki kota-kota penting di utara Sulawesi. Jakarta menawarkan amnesti bagi pasukan pemberontak yang menyerahkan diri. Ahmad Husein di Padang segera menyerahkan diri. Adapun Ventje Sumual menyerah pada Oktober 1961. Perang bersenjata ini, yang terjadi pada 1958-1961, menewaskan sekira 20.000 hingga 30.000 jiwa. Sebagian besar adalah rakyat sipil Minahasa.

Beruntung Sumual langsung dibebaskan sesudah Soeharto mendepak Sukarno yang diawali dengan pembunuhan massal para simpatisan komunis pada 1965-1966. CIA dan Amerika Serikat memenangkan strategi mencegah pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara via Indonesia-nya Orde Baru.

Sumual sendiri kelak menjadi seorang pengusaha.

Dalam The Second Front : Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut pendekatan terhadap eks anggota DI/TII langsung dilakukan oleh bos Opsus, Ali Moertopo yang mendapat perintah langsung dari Soeharto berdasarkan dokumen CIA .

Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya : Aloysius Sugiyanto & Pitut Soeharto, Ali menjanjikan fasilitas dan pengampunan jika eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan tentara.

Gayung bersambut. Ajakan Opsus diamini para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Begitu sepakat mereka segera bergerak. “Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno,” tulis Conboy

Penumpasan PKI juga mengikutsertakan lebih dari 10.000 orang eks DI/TII. Menurut peneliti sejarah DI/TII Solahudin, saat menjalankan penumpasan, mereka didukung penuh Kodam Siliwangi dan agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

“Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI/TII mendapatkan bantuan pinjaman senjata” Mereka dikenal sangat kejam. membantai siapa saja yang diindikasikan PKI.

Pembantaian dilakukan dengan sangat kejam meliputi wilayah Jakarta dan seluruh Jawa, Sumatera Kalimantan hingga Sulawesi Selatan, terutama kepada rakyat sipil dan keturunan etnis Tionghoa. Operasi bersama yang dilakukan tentara dengan eks anggota DI/TII berlangsung sukses.

Rezim Orde Baru menepati janjinya untuk memberikan ganjaran yang setimpal. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, Orde Baru lewat tangan tentara juga memberikan kemudahan usaha kepada para eks anggota DI/TII.

Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI, diangkat sebagai ketua Gapermigas (Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kotamadya Bandung. Danu Muhammad Hasan direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN dengan imbalan yang memadai : rumah dinas, mobil dinas, dan gaji bulanan.

Seharusnya rakyat Indonesia cerdas menyikapi setiap ujaran kebencian dan upaya pemecahan belahan bangsa terutama isu agama, karena terbukti beberapa negara Islam hancur lebur, seperti Lybia, Iraq, Syria dan menyusul Afghanistan.

Lawan politikus busuk ! Tingkatkan nasionalisme, akal sehat dan pertahankan budaya Indonesia.

Salam Kedaulatan Rakyat

Ki Tito Gatsu.

banner 120x600

Tinggalkan Balasan