Sebagai orang yang sehari-hari menggeluti isu pajak dan mengadvokasi secara serius sejak 12 tahun lalu, saya senang pajak kini jadi isu publik. Meski kadang ada kekeliruan, itu tak mengurangi buah penting: Kesadaran publik meningkat, rasa memiliki bertambah. Masa depan kita cerah!
Terus terang memahami pajak itu tak mudah. Barangkali karena sudah ada pra anggapan: tak ada yang suka dengan pajak.
Lepas dari itu, pajak memang sangat teknis. Mengandaikan pengetahuan akuntansi, hukum, administrasi, ekonomi. Belakangan juga hukum, sosiologi, bahkan psikologi.
Bagaimana membedakan jenis-jenis pajak: pajak pusat vs pajak daerah, pajak langsung vs pajak tak langsung, pajak subyektif vs pajak obyektif, dll. Membedakan Pajak Restoran vs PPN kita kerap luput. Pajak Kendaraan Bermotor dan PBB dipungut Pemda, tak semua paham. Ini pekerjaan rumah.
Ambil contoh kehebohan terakhir. Dari standard saya yang cukup memahami pajak, memang kaget bukan main kok hal seperti itu disalahpahami. Tapi saya lantas maklum. Tak semua paham dan wajib mengerti dengan baik. ini tugas pemerintah dan pemangku kepentingan untuk terus mengedukasi.
Mengedukasi bukan menggurui, dengan cara yang mudah dan renyah. Bayangkan kita harus membedakan: penghasilan bruto, penghasilan neto, penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan penghasilan kena pajak (PKP). PTKP saja mesti ngerti tabelnya: Tidak Kawin (TK), Kawin (K). Kalau ada tanggungan?
Sebelum jauh ke sana, kekeliruan pemberitaan kemarin tak perlu terjadi jika wartawan mengerti bahwa PP 55/2022 adalah aturan turunan UU 7/2021. Bukan aturan baru. Ini pelaksanaan teknis, sebagai pedoman, rujukan dan penjabaran hal-hal dalam detail. Ditulisnya: 1 Januari 2023 ada tarif baru.
Jika mau repot, sebenarnya bisa saja menyandingkan substansi PP 55/2022 dg UU 7/2021. Benarkah ada perubahan tarif? Pasti tidak. Bahkan jika ingat sosialisasi setahun lalu pasca UU HPP, jelas sekali tarif pajak ini justru berpihak pada UMKM dan wajib pajak berpenghasilan rendah.
Lagi-lagi saya tak mau menyalahkan. Jika harus mengaku salah, saya menjadi bagian yang salah karena belum berhasil membuat publik, termasuk wartawan, paham. Dulu waktu belum bergabung Kemenkeu, kami biasa memberikan kelas pajak gratis untuk wartawan dan umum. Kita belajar bareng. Asyik.
Sejak 2010 kami fokus mengadvokasi pajak sbg kebijakan publik, bukan sebagai isu administrasi. Isu keadilan, kesetaraan, penghindaran dan pengelakan pajak, penguatan otoritas, perbaikan tata kelola, menjadi fokus kajian dan advokasi. Makin ke sini, kami menemukan pajak semakin penting.
Lebih penting lagi, penelitian di banyak negara berkembang menunjukkan pentingnya pajak dalam konteks state-building. Pajak adalah sarana yang memungkinkan terwujudnya penguatan kapasitas negara sekaligus instrumen demokratis karena menjadi alat kontrol yang efektif bagi pemerintahan.
Banyak diskusi misalnya, kenapa bukan eksploitasi SDA? Studi menunjukkan, misalnya Janet Roitman, di negara2 Afrika yang eksploitatif umumnya pemerintahannya korup dan tdk demokratis. Sebaliknya, tumpuan pada penerimaan pajak membangun mekanisme kontrol dari pembayar pajak.
Kata Margaret Levi, pajak itu tak pernah voluntary, melainkan selalu quasi-voluntary. Saya mau bayar pajak karena saya berharap ada kontraprestasi berupa pelayanan publik dari negara. Poin ini yg penting dipahami penyelenggara negara, shg tata kelola dan belanja sama baiknya.
Dalam bahasa Richard Eccleston, pajak itu necessary evil, hal yang tak disukai tapi harus ada. Pertanyaan historis: adakah bangsa/peradaban yang pernah tegak bertahan tanpa pajak? Rasanya tidak. Alvin Rabushka bahkan bilang, hati-hati dengan kebijakan pajak karena mempengaruhi langgengnya rezim.
Penelusuran historis Charles Adam membabar fakta, sejak Babilonia, Mesir, Yunani, Romawi, Eropa Pertengahan, hingga Prancis dan era modern, pasang surut suatu kekuasaan amat erat dg kebijakan pajak. Kalau eksesif akan berbahaya, dan sebaliknya.
——
Prastowo Yustinus
Staff Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis
Sumber : https://twitter.com/prastow?s=09
***
Redaksi Suluhnusantaranews