Pembangunan Museum Multatuli di Rangkasbitung (Banten) bukan tanpa halangan. Dalam pidato peresmiannya, Bupati Lebak mengeluhkan bagaimana proses pembangunan Museum ditentang banyak pihak.
Alasannya, Multatuli merupakan seorang Belanda. Premisnya: Orang Belanda adalah penjajah. Itulah yang diajarkan disekolah. Lantas bagaimana apabila ada seorang Belanda yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan menolak kolonialisme?
Kurikulum 2013 (Kurtilas) nyatanya mempersempit ruang perjuangan kemerdekaan dengan semangat “rasisme”. Sebagai contoh, Multatuli menulis novel berjudul ‘Max Havelaar’. Novel tersebut nyatanya adalah karya sastra antikolonial pertama di dunia.
Dalam silabus yang dikeluarkan pemerintah Kurtilas, Multatuli hanya disebut dalam Sejarah Indonesia pada kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang disebut Cultuurstelsel atau tanam paksa (Kompetensi dasar 3.1). Sedangkan dalam ‘Strategi perlawanan dan respon bangsa Indonesia’, (KD 3.2 dan 3.7) baik buku teks dari pemerintah dan swasta tidak menyertakan Multatuli sebagai bentuk ‘perlawanan bangsa Indonesia’.
Jadi, pengajaran sejarah sudah rasis sejak dalam kurikulum.
Padahal, semangat pergerakan dan kemerdekaan Indonesia melintasi antar Ras. Keponakan Multatuli, Ernest Douwes Dekker justru kemudian menjadi salah satu tokoh pergerakan tiga serangkai dan kita mengenalnya sebagai Dr Setiabudi.
Cara mengenal sejarah secara hitam putih semacam ini pernah di uraikan oleh Prof Ariel Heryanto dalam kuliah umumnya berjudul ‘Historiografi yang Rasis’. Ia menelaah film yang terkait peristiwa 1965 dan film kemerdekaan yang selalu memberikan gambaran bahwa orang komunis ‘lugu tetapi bodoh’ dan orang Belanda ‘tidak ada yang baik’.
Sepintas, generalisir ini tidak bermasalah. Namun ketika kenyataan justru berkata sebaliknya, kita tidak mampu mengkategorikan orang-orang yang melintasi batasan ras-nya untuk mendukung, katakanlah—kemerdekaan.
Kita yang terlanjur menganggap semua orang ‘Belanda’ adalah penjajah tidak mampu memahami bahwa yang kita tolak bukan ‘kebelandaannya’ sebagaimana ‘kearabannya’, kecinaanya’ dan seterusnya.
Hal utama yang kita tolak dari bangsa Belanda adalah kolonialismenya. Penjajahannya. Sehingga permusuhan pada Belanda saja bisa menghapus tujuan utama kita melawan Belanda; sebagaimana Inggris dan Perancis sesungguhnya juga penjajah. Kemudian kita melupakan bahwa yang kita lawan adalah; penjajahannya.
Hal ini akan menjadi kerugian yang sangat besar dan panjang. Akibat langsung yang sekarang kita hadapi adalah berkembangnya sikap rasisme, sehingga sangat mudah untuk menghina identifikasi fisik seseorang hanya untuk mempertahankan kebanggaan nasional.
Walhasil, sebutan ‘Monyet’ kepada orang Papua menuai banyak protes bahkan mengarah pada konflik vertikal dan horizontal. Pengajaran sejarah ternyata berperan besar secara struktural dalam membentuk pemahaman yang rasis ini di dalam sekolah.
Lambat laun, pengalaman bangsa Indonesia di dalam lanskap sejarah hanya akan mengenal musuh bernama ‘Belanda’, Separatisme Papua’, dan ‘ancaman asing’ yang targetnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan politik praktis. Tradisi semacam ini memang dipertahankan oleh para politisi usang untuk mendapatkan panggung dan mimbar demi meraup suara masa ‘yang marah’.
Sehingga, pada generasi selanjutnya, lambat laun kita akan melupakan cita-cita utama pendiri bangsa, yang melintasi ras, dan benua dalam bentuk solidaritas antar-bangsa (Asia-Afrika) demi tujuan menghapus penjajahan. Dan sayangnya, pengajaran sejarah diam-diam menanam semangat rasis dan mengubur kemerdekaan.
***
Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah PP Luhur Al-Tsaqafah