Pada level Asia Tenggara, tim sepak bola Indonesia termasuk yang masih labil untuk urusan prestasi. Generasi berganti, pelatih juga, namun untuk menjuarai sebuah turnamen sekelas negara Asean masih penuh pesimistis, jika mau jujur.
Beberapa pemain berbakat disatukan dalam sebuah tim, ternyata bukan persoalan mudah. Bonus pemain naturalisasi yang diharap menularkan skill dan pengalamannya tidak juga berbuah positif.
Kualitas pemain yang berada dalam satu tim nasional sudah pasti pilihan hasil seleksi. Skill individu mereka sudah pasti di atas rata-rata ribuan pemain yang merumput di Liga. Artinya persyaratan teknik bermain bola sudah selesai.
Namun ceritanya menjadi berbeda ketika disatukan berada dalam satu strategi kepelatihan. Kumpulan pemain “luar biasa” saat bersatu justru menjadi biasa saja, berarti ada persoalan besar yang paling mendasar.
Mental bertanding kumpulan pemain terbaik kita masih buruk.
Mental bertanding terkait erat dengan emosional perasaan individu. Semangat memenangkan pertandingan dalam situasi apapun masih menjadi PR mendasar yang belum tuntas.
Teror penonton, pemain lawan, beban harus menang harapan jutaan pecinta bola hingga kepercayaan diri tidak ada hubungannya dengan kelebihan skill yang dimiliki.
Mental bertanding individu yang bersifat kolektif antar sesama pemain belum merata. Dari 11 pemain lebih separuhnya belum memiliki mental bertanding yang sama. Yang terjadi kesalahan demi kesalahan sendiri bergantian terjadi pada masing-masing pemain. Tehnik ber-sepak bola menjadi tidak berarti, bahkan untuk memberi umpan-pun tidak tahu mana yang benar dan salah.
Masih ingat pertandingan semifinal Piala 2014 antara Brazil vs Jerman? Brazil yang bertaburan talenta pesepakbola dunia dibantai Jerman 7-1. Mental bertanding pemain Brazil runtuh, seolah terlihat sedang belajar bermain bola. Kesalahan demi kesalahan terjadi menghasilkan gol beruntun bagi Jerman.
Kesebelasan sekelas Brazil kolektifitas mental bertandingnya mendadak hilang.
Bagaimana dengan mental timnas Indonesia? Buruk bukan berarti tidak ada. Tetapi lupa atau tidak terasah, terjalin dengan benar.
Siapakah orang yang bisa paham mental pemain Indonesia, ternyata bukan Shin Tae-yong sang pelatih yang bukan orang Indonesia. Yang paham mental pemain Indonesia ya pelatih dari Indonesia. Bagaimana kultur, budaya, kebiasaan pesepakbola Indonesia berbeda dengan Korea Selatan.
Saatnya Timnas Indonesia dilatih orang Indonesia lagi. Bukan untuk melatih strategi, skill dan kemampuan tetapi lebih tepatnya pelatih mental.
***
Erlangga Bhumi-Suluhnusantaranews