Ketika lebih dari 500 armada kapal dan 40.000 pasukan dikerahkan oleh Dinasti Mongol saat menginvasi Jepang pada abad 13 namun pada invasinya ke Nusantara, dua kali lipat jumlah kapal harus diterjunkan, ini pasti terkait strategi.
Pada serangan ke Nusantara, armada kapal perang yang harus diturunkan berjumlah 1000 kapal. Ini dua kali lebih banyak. Sementara, pasukan yang diikutsertakan berjumlah 20 – 30 ribu.
Mudah kita tebak bahwa di mata Mongol saat itu, kekuatan laut Nusantara dianggap lebih berbahaya dibanding Jepang.
Dan terkait strategi perang, pada saat itu, Mongol adalah jagonya. Pasukan militer Mongol yang terkenal sadis dan kuat pernah membuat (hampir) seluruh daratan Asia hingga sebagian Eropa takluk.
Eropa Timur meliputi Rusia, Ukraina, Polandia, Bulgaria, hingga Asia Tengah dan Asia dimana China, India hingga Pakistan mereka gulung dalam satu libasan saja pada perang yang pernah mereka kobarkan.
Dalam penyerbuannya ke Rusia melalui Azerbaijan, ke Georgia dan sepanjang Laut Kaspia, pada 1221 jenderal Mongolia Jebei dan Subedei memimpin pasukan yang berjumlah 20.000.
Dengan ganas mereka melibas aliansi suku-suku Turki dari stepa, termasuk Alans , Cherkesz Kipchaks dan Cumans. Gabungan dari para Pangeran Rusia pun pada akhirnya masih tak mampu menolong mereka.
Pada 31 Mei 1223 Mongol meraih kemenangan atas pasukan koalisi dari beberapa negara Rusia di tepi sungai Kalchik atau Kalka di kawasan Oblast Donetsk Modern, Ukraina.
Terkait Irak, saat itu kota Baghdad adalah pusat peradaban dunia. Bila hari ini Amerika dan Eropa kita anggap sebagai pusat dari semua kemajuan olah pikir, demikianlah kira – kira Baghdad saat itu.
Siapakah tak kenal Kekhalifahan Bani Abbasiyah dengan segala kebesarannya?
Kiblat dunia dalam bidang filsafat, fisika hingga kedokteran mengarah pada kota itu. Abad keemasan Islam terpancang kuat pada nama besar dinasti itu.
Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang sangat termasyur itu berakhir nestapa di tangan bangsa Mongol.
Pada tahun 1258 serangan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menghancurkan Baghdad hingga rata dengan tanah. Ilmu pengetahuan terbukukan sebagai nilai lebih dinasti itu yang konon telah dihimpun selama ratusan tahun dan tersimpan di perpustakaan Baghdad, dibakar begitu saja.
Konon karena serangan itu, Kekhalifahan Bani Abbasiyah terpaksa harus berlanjut di Kairo. Itu tercatat dimulai pada tahun 1261 dibawah naungan Kesultanan Mamluk Mesir.
Hingga saat itu, bisa dibilang, tak ada kekuatan di sebelah mana pun di sudut bumi ini mampu membendung kegilaan Mongol. Konon katanya, dua pertiga luas benua Asia dan Eropa ada dalam genggaman bangsa itu.
Kekaisaran Mongolia juga pernah berencana menyerang negara Eropa Barat, seperti Prancis, Romawi dan negara-negara Eropa lainnya. Jika bukan karena kematian Ogadai Khan, maka kemungkinan seluruh Eropa akan dikuasai dan sejarah Eropa akan berubah.
“Trus atas alasan apa Nusantara mampu membendung kekuatan Mongol?”
Saat mereka memilih mengerahkan 1.000 kapal ketika menyerbu kita dan pada invasi ke Jepang jumlah kapalnya jauh lebih sedikit padahal jumlah pasukan justru terbalik, tentu terkait antisipasi pada kekuatan laut kita bukan?
Dengan kata lain, keunggulan Nusantara di mata mereka adalah di laut dan maka satu-satunya cara meruntuhkan Nusantara hanya mungkin dapat dilakukan dengan kepemilikan armada yang lebih perkasa.
“Apakah dapat dibuktikan?”
Tiongkok adalah bangsa yang rajin membuat catatan. Mereka juga turut mencatat hal – hal milik kita yang bahkan tak pernah kita catat sendiri.
Salah satu buku abad ke-3 yang berjudul “Hal-Hal Aneh dari Selatan” karya Wan Chen adalah salah satunya .
Wan Chen pernah mendeskripsikan adanya sebuah kapal yang masuk ke Pelabuhan China di mana kapal yang dia catat itu dideskripsikan mampu membawa 700 orang dengan lebih dari 10.000 kargo.
Bayangkan, pada abad 3, sudah ada sebuah kapal dengan deskripsi seperti itu dan membuatnya terperangah antara percaya dan tidak.
Menurutnya, kapal itu berasal dari tempat bernama K’un-lun. Itu berarti “kepulauan di bawah angin” atau “negeri Selatan”. Itu bicara tentang sebuah negeri di selatan daratan China.
Kapal-kapal itu disebut K’un-lun po atau kapal milik orang – orang dari kepulauan di bawah angin, itu panjangnya lebih dari 50 meter dan tingginya di atas air adalah 4-7 meter.
Kelak ketika keberadaan kapal itu sudah menjadi hal biasa, kira – kira pada abad 7 di zaman Sriwijaya atau zaman kerajaan Singasari di ada abad 13, kapal raksasa itu mulai sering disebut atau dinamai dengan Jong atau Jung.
Buktinya adalah catatan seorang I-Tsing (635 – 713). Beliau adalah seorang biksu Buddha Tionghoa yang sangat terkenal yang konon diberitakan pernah berkelana melalui jalur laut menuju ke India untuk mendapatkan teks agama Buddha dalam bahasa Sanskerta.
Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan, ia menulis bahwa ia menggunakan atau naik kapal milik Sriwijaya. Pada catatan nya pun, dia menulis bahwa Sriwijaya sebagai satu – satunya negeri yang menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Masih ada banyak dan banyak catatan mereka terkait negeri dari selatan yang memiliki kapal besar dan kuat itu.
Adakah catatan-catatan itu bukan bukti bahwa sudah sejak lama Nusantara adalah negeri penguasa lautan?
Di sisi lain, menurut catatan sejarah, perkapalan laut China tidak terkabarkan hingga akhir dinasti Song yakni pendahulu dari dinasti Yuan (Mongol) dimana kaisar Kubilai Khan berkuasa. Pada masa sebelum itu, kapal – kapal tercatat milik mereka adalah jenis kapal sungai, kapal dengan lambung datar.
Di kemudian hari memang muncul kapal jung Cina Selatan yang menunjukkan ciri-ciri kapal jong seperti kapal dari selatan. Lambungnya berbentuk V dan berujung ganda dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis.
Jenis kapal inilah yang dipakai oleh Mongol baik saat menyerbu Jepang dan Nusantara.
Ini jenis kapal berbeda dengan kapal Cina di bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.
Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka, buritan dan haluan berbentuk persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.
Bukankah dengan demikian itu dapat kita artikan bahwa teknologi perkapalan kita memang jauh sudah lebih dulu ada dan lebih maju dibanding mereka?
Dan fakta bahwa jalur perdagangan di Asia Tenggara di mana kondisi geografisnya yang berpulau pulau benar dikuasai oleh kapal kapal besar bernama Jung memang dapat dibuktikan dengan banyaknya catatan dari para pelaut Eropa.
Dan maka, adakah korelasi terkait armada perang Mongol yang harus lebih powerful saat menyerbu Nusantara dibanding saat menyerang Jepang menjadi lebih masuk akal?
“Kenapa harus menyerang Nusantara?”
Pada Musim Gugur 1274, sebagaimana dikutip dari Ancient Origins, bangsa Mongol melancarkan invasi pertama mereka ke Jepang, yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Bun’ei.
Sebelum mencoba untuk menginvasi Jepang, pasukan Mongol yang dipimpin Kubilai Khan telah lebih dulu berhasil menaklukkan Tiongkok pada tahun 1230 dan Korea pada tahun 1231.
Tak kurang dari 500 kapal dan 40.000 prajurit, sebagian besar etnis Tionghoa dan Korea. Dua kali serbuan mereka tercatat gagal karena sebab badai namun catatan yang lain juga berkata bahwa Jepang bersedia memberi upeti.
Berbeda dengan serangan mereka ke Nusantara. Bisa dibilang, Mongol gagal total.
Pada tahun 1293, berdasarkan naskah Yuan Shi, 20-30 ribu prajurit dikumpulkan dari Fujian, Jiangxi dan Huguang di Tiongkok selatan bersama dengan 1.000 kapal serta bekal untuk satu tahun. Itu adalah catatan terkait persiapan bangsa Mongol menyerbu Nusantara.
Pasukan itu dipimpin oleh Shi-bi, orang Mongol, Ike Mese, orang Uyghur yang berpengalaman dalam pelayaran ke luar negeri, dan Gaoxing, orang Tiongkok.
Pada perang di Jepang dua kali Mongol gagal karena alam tak berpihak padanya, pada perang dengan Singasari mereka dipermalukan.
Pada Jepang topan besar atau siklon tropis hadir dan turut menghancurkan armada Mongol, pada Singasari mereka yang kemarin adalah pemburu tak kenal kata ampun itu justru diburu dan tewas dengan mengenaskan sedikit demi sedikit akibat strategi Raden Wijaya.
“Koq bisa?”
Perang di laut, bila pernah terjadi, itu tak berlangsung luar biasa. Catatan atas hal itu sangat sedikit. Saat mereka datang, Laut Nusantara seolah kosong dari patroli kapal-kapal Singasari. Raja Kertanegara dikabarkan telah tewas akibat kudeta dari Jayakatwang.
Konon, menurut catatan yang masih butuh rujukan, Jayakatwang sengaja menyerang Singasari pada saat pasukan utama Singasari dengan armada besarnya sedang melakukan ekspedisi Pamalayu.
Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran utusan Mongol yang pada awalnya datang dan meminta Kerajaan itu tunduk dan mau memberi upeti pada Mongol, sang raja Kertanegara mengirim pasukan Kebo Anabrang menuju kerajaan Dharmasraya di Sumatera.
Bisa jadi, ini adalah tentang konsolidasi atau persiapan menghadapi serbuan Mongol yang diprediksi akan marah.
Saat armada Mongol datang, Singasari ternyata sudah runtuh namun menantu Kertanegara yakni Raden Wijaya dikabarkan selamat. Kelak, Wijaya ini adalah pendiri kerajaan Majapahit.
Menjadi luar biasa adalah ketika justru Wijaya mampu memperalat pasukan Mongol ini untuk balas dendam pada Jayakatwang.
Pasukan Mongol dengan segala kemegahannya yang datang dari tempat sangat jauh dan bertugas untuk menghukum mertuanya justru dimanfaatkan menjadi kaki tangan dalam meruntuhkan kerajaan Kadiri dimana Jayakatwang sang pembunuh mertuanya adalah rajanya.
Ketika Kadiri akhirnya runtuh, Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol.
Pasukan dengan pengalaman tempur luar biasa itu ternyata tak siap melawan taktik Wijaya.
Dengan banyak jebakan-jebakan tak terduga, pasukan pemburu itu kini justru diburu. Jumlah mereka terus menyusut. Mereka terbunuh sedikit demi sedikit tanpa bisa berbuat banyak.
Dan ketika mereka akhirnya dapat kembali ke kapal, armada pasukan Jawa yang dipimpin oleh rakryan mantri Aria Adikara melakukan serangan dan menghancurkan sejumlah kapal Mongol.
Seperti jatuh tertimpa tangga, pasukan Yuan yang mundur secara kacau balau itu kini terdesak waktu.
Musim angin muson sebagai satu-satunya cara dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir. Terjebak di pulau Jawa untuk enam bulan berikutnya jelas bukan pilihan baik, mereka memutuskan pergi.
Akibat dari strategi yang dijalankan oleh Wijaya, pasukan Han Utara di bawah Jenderal Shi Bi kehilangan lebih dari 3.000 orang. Sementara, pasukan yang khusus dibentuk untuk tugas operasi ini, terbunuh dalam jumlah lebih banyak.
Konon secara keseluruhan ada sekitar 60% tentara Yuan terbunuh yakni sekitar 12.000-18.000 orang. Pun kapal yamg harus mereka tinggal. Kelak, teknologi meriam dari kapal-kapal itu membuat Majapahit mampu memproduksi Cetbang atau meriam khas Majapahit.
“Menang dengan licik koq bangga?”
Adakah kekuatan militer Iraq pada jaman Sadam Husein memiliki nilai lebih dari 10 persen kekuatan militer AS?
Sepertinya tidak. Namun itu tak lantas membuat militer AS berani menyerangnya bukan? Masih dibutuhkan embargo internasional selama bertahun tahun agar Iraq makin lemah dan baru serangan itu dilakukan.
Itu bukan soal curang atau tidak. Itu soal keputusan melakukan perang yang mutlak harus dimenangkan.
Perang tak pernah terjadi justru ketika kekuatan keduanya seimbang.
Raden Wijaya tak pernah mengundang perang datang padanya. Peranglah yang mendatanginya. Bila strategi itu terlihat tak elegant, adakah hal lebih penting dari usaha untuk menyelamatkan negaranya?
Dan para jenderal Mongol memang benar-benar tak berdaya melawan Raden Wijaya. Mereka pulang dalam kondisi mental yang hancur.
Pada Jepang, serangan kedua dengan armada lebih besar gagal. Kembali alam berpihak pada rakyat Jepang. Kamikaze sebagai istilah dewa yang menyelamatkan muncul dari kisah ini.
Orang-orang Jepang percaya topan itu telah dikirim oleh para dewa untuk melindungi mereka dari musuh. Mereka kemudian menyebut angin topan ini sebagai Kamikaze yang berarti angin dewa.
Pada Nusantara, dalam marahnya Kublai khan merencanakan invasi yang lain ke Nusantara. Rencananya, mereka akan datang lagi dengan kekuatan 100.000 tentara, tetapi Kublai Khan keburu meninggal dunia.
Itu bukan berarti mereka tak berusaha lagi menyerang Nusantara. Catatan tokoh lain yang melewati Nusantara, yaitu Ibn Battuta dan Odoric dari Pordenone, melaporkan bahwa Nusantara pernah kembali diserang beberapa kali oleh Mongol. Luar biasanya, serangan itu selalu berhasil digagalkan oleh para pelaut Nusantara.
Selain itu, prasati Gunung Butak (tahun 1294 M) juga menyebutkan bahwa Aria Adikara berhasil mencegat invasi laut Dinasti Yuan selanjutnya. Bukan hanya mencegat masuk, dia bahkan mengalahkan Mongol sebelum pasukan dengan kapal – kapalnya itu masuk di perairan Nusantara.
Pada invasinya ke Nusantara, bukan hanya sekedar kalah, Mongol justru sangat dipermalukan. Sejarah keganasan tentara mereka yang konon sangat ditakuti tak berlaku di Nusantara. Seperti macan tak bertaring, mereka hanya buruan bagi pasukan Wijaya.
Perang melawan Nusantara adalah catatan perang dengan hasil paling memalukan bagi sejarah bangsa besar penguasa bumi utara itu.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel