Seberapa Penting Kita Butuh Pengakuan Pada Selembar Sertifikasi?

Opini Agung Wibawanto

banner iklan 468x60

Ini sebenarnya cerita lama ya. Artinya bukan sesuatu yang baru. Yang sudah pernah mengalami tentu paham apa yang dimaksud dari judul di atas. Setiap manusia memang butuh eksis, diakui keberadaannya. Terlebih dalam kehidupan bersosial kemasyarakatan, wabil khusus yang berhubungan dengan pemerintahan.

Beda dong, kalau kita hidup sendiri di tengah hutan ataupun tinggal di sebuah pulau kecil dan terpencil. Katakan saja mulai dari orangtua kita menikah, harus ada pengakuan. Pengakuannya apa sih yang menunjukkan bahwa ortu kita menikah? Bukankah sudah ada penghulu, ada saksi, ada keluarga.

Ada juga tetangga yang rawuh. Dokumentasi foto-foto juga ada, masa gak percaya kalau sudah menikah? Tidak cukup. Mau ngeyel seperti apa, kalau tidak ada bukti surat nikah atau akte nikah, ya sampai kapanpun tidak diakui oleh pemerintah juga publik. Oh ya, saat mau menikah pun harus ada pengakuan berupa identitas diri alias KTP.

Diminta pula KK (kartu keluarga, C1) untuk menunjukkan alamat sah mempelai. Itu semua bukti pengakuan. Begitu anak lahir, ceprot, apa bukti pengakuan itu adalah anak kita? Lho, saya lho yang melahirkan, masa gak percaya? Mungkin begitu kata si Ibu. Dan saya suami ibu yang melahirkan ini, nih ada bukti surat nikah kami, begitu pula mungkin kata si Ayah. Apa cukup bisa diakui?

Anak lahir biar diakui sebagai anak sah (biologis) dari kedua orangtuanya ya harus dibuktikan dengan selembar kertas bernama akte lahir. Jadi kalau mau daftar sekolah atau keperluan lain (seperti turun waris dsb), harus ada akte lahir. Lanjut, anak sekolah dan lulus SD, apa bukti pengakuannya kalau sudah lulus SD? Harus menunjukkan bukti ijazah kelulusan mulai SD, SMP, SMA hingga PT.

Lalu berlanjut ke dunia kerja ingin bekerja, harus menunjukkan bukti kompetensi diri, caranya? Cukup dengan, ini lho saya bisa bahasa Inggris, komputer ataupun bisa memasak (dengan memperlihatkan), apa cukup? Tidak. Harus ada bukti tertulis bernama sertifikat akademik maupun kompetensi. Padahal sudah kita tunjukkan sebagai bukti tidak bohong, namun percuma.

Itulah birokrasi sertifikasi. Mau naik kendaraan harus punya SIM, mau lulus pondok ngaji dll harus punya ijazah, mau halal harus sertifikasi, mau lolos makanan sehat harus sertifikasi, punya rumah kendaraan harus sertifikasi, dan banyak lagi. Kadang (dulu) saya sering berpikir bahkan protes, bertele-tele. Masa selembar kertas lebih dipercaya ketimbang orangnya langsung? I

Ini cara kerja birokrasi konvensional. Tapi coba kalau kita lihat di film-film ataupun di negara modern. Pengakuan sudah bisa dibuktikan hanya dengan scaning jari (finger print). Ataupun melalui mata. Dari situ semua data diri termasuk kompetensi kita ada dan tertera. Tidak perlu lagi menunjukkan kertas berlembar-lembar bukti pengakuan.

Negara kita belum secanggih itu dalam mengelola data pribadi setiap warganya. Masih pakai kertas yang bisa mengalahkan kehadiran orang yang bersangkutan. Kadang tidak perlu hadirnya orang yang bersangkutan, cukup menunjukkan dokumen kertas tersebut. Itu kemudian yang membuat merebaknya praktik calo (jasa pengurusan administrasi).

Misal kita tidak punya bukti pengakuan tersebut maka ya harus ngurus. Jika terkait data kependudukan, mungkin bisa gratis tanpa bayar, meski menyita waktu dan tenaga. Tapi jika terkait dengan pekerjaan, misal bukti pengakuan kompetensi, memang sih ada lembaganya yang berhak mengeluarkan (BNSP dan LPT), namun harus membayar mahal.

Mengapa, karena kita wajib mengikuti program yang sudah dibuat oleh mereka. Lho, bukankah saya sudah cukup ahli dan punya kompetensi karena sering melakukan? Percuma juga berdebat seperti itu, karena yang dibutuhkan dalam persyaratan kerja tersebut adalah: lembar sertifikasi, bukan kita bisa atau tidak. Lagi-lagi kan, orang atau lembaga lebih percaya dengan selembar kertas ketimbang orangnya langsung.

Percuma saya panjang lebar cerita pernah melakukan banyak pelatihan penulisan sepanjang tidak ada sertifikasi maka saya dianggap belum berkompetensi. Dunia kerja sekarang ini penuh dengan persyaratan sertifikasi. Mau naik pangkat atau golongan harus sertifikasi, mau jadi tenaga ahli juga sertifikasi, mau naik jenjang akreditasi juga sertifikasi. Bukankah menciptakan peluang bisnis?

Ya pada akhirnya bisa menjadi bisnis hanya untuk mengeluarkan selembar kertas pengakuan. Bayangkan jika perorang harus berinvestasi 3 jt an, maka berapa pendapatan lembaga tersebut? Padahal, sekali lagi, kadang peserta tidak butuh materi (TOT) lagi karena sudah menguasai. Mungkin lebih paham ketimbang mentornya. Yang dibutuhkan peserta hanya selembar kertas pengakuan. Itu saja.

Psssst, pertanyaan saya: Apakah yang berstandar sertifikasi tersebut sudah dijamin lebih baik atau berkualitas ketimbang yang belum berstandar sertifikasi? Banyak lho yang cuma beli sertifikasi tanpa kompetensi. Sebaliknya yang berkompetensi justru kalah dengan selembar kertas. Ada lagi produk berlebel SNI, sebulan dipakai jebol, kok kalah awet dengan yang tidak berlebel SNI? Itu PR kita.

Caption: Bagi yang butuh lembar sertifikasi, silahkan segera mendaftar di poster narasi ini
***
Agung Wibawanto

banner 120x600

Tinggalkan Balasan