Jalan Panjang Demokrasi

Retrospeksi Sejarah

banner iklan 468x60

Ketika kamu lelah, istirahatlah. Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, bukalah lebih lebar pintu hatimu dengan apa itu makna teman.

Ketika penat melanda pikiranmu, ketika semua peristiwa tampak seolah menyatu dalam rumit tumpang tindih jejak yang tak lagi mudah diurai, mundurlah meski hanya selangkah.

Seperti ketika kita berada dalam pusaran air, di sana, hanya ada dinding berputar tertampak dan kita lalu terjebak pada pengulangan & pengulangan. Selalu dan selalu, dan hanya peristiwa – peristiwa itu saja yang hadir dalam putaran waktu kita dan kita merasa hilang. Kita terjebak…

Menjauh-lah.. meski hanya sejenak.

Ya.. sepertinya kita memang butuh menjauh meski hanya sejenak dari riuh suasana kita dalam debat tak berkesudahan atas esensi menjadi lebih baik menurut kita dan makin jelek bagi saudara kita yang lain atas kemana arah kita sedang akan melangkah.

Kita butuh meski sesaat demi sejenak berhenti, pun bila perlu mundur setapak dan kemudian menengok kembali di mana titik kita pernah mulai melangkah sebagai pengingat telah sejauh apa kita sudah berjalan.

Pun dalam kehidupan demokrasi bangsa ini.

Soekarno Presiden pertama, adalah satu dari sekian banyak para “founding fathers” kita. Indonesia sebagai rumah amat sangat besar milik kita bersama dibangun dan didirikan pada eranya. Tak terlalu berlebihan bila gelar sebagai pendiri rumah besar itu kita sematkan padanya.

Jenderal Soeharto dengan kekuatan militernya datang dan kemudian menggantikannya. Dia mengisi dan kemudian tampak ingin berusaha membangun rumah itu.

Tiga Puluh dua tahun dia lakukan dan bila apa yang tampak terbangun dengan cukup rapi hanyalah halaman depan rumah kita saja. Itu adalah apa kata banyak saudara kita yang tinggal di belakang dan di samping kanan kiri rumah. Konon mereka merasa tak tersentuh oleh pembangunan tersebut.

Jawa sentris membuat wajah Indonesia seolah hanya terdiri dari Jawa saja. Anehnya, saat dia harus mundur dan diganti oleh Habibie, ruang tempat dia dan keluarganya tinggal, terlihat sangat rapi bahkan amat sangat mewah dibandingkan dengan ruangan sebelah mana pun juga.

Ternyata dia juga senang dengan kesibukan membangun bagi dirinya sendiri.

Reformasi ’98 memaksa Jenderal sepuh itu mundur. Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu memberi jaminan pada Pak Harto dan keluarganya dari marah dan balas dendam para musuh politiknya saat kemundurannya dijadikan polemik. Pak Harto aman, ruang mewahnya pun tak tersentuh hukum.

Reformasi ‘98 di mana ujung tombaknya adalah mahasiswa, kejadian itu tak mungkin dipisahkan dengan peristiwa kisah Kerusuhan 27 Juli 1996. Itu api kecil sebagai pemantik bagi nyala api yang lebih besar, reformasi.

Konon itu dimulai dari munculnya dualisme kepengurusan PDI Soerjadi dan Megawati Soekarno yang kemudian memancing pemerintahan Orde Baru terlibat di dalamnya.

Intinya, pemerintahan Soeharto lebih senang dengan PDI Soerjadi dan maka Megawati harus diganjal. Menjadi masalah, karena kantor pusat PDI di jalan Diponegoro 58 harus direbut. Di sana pun, mahasiswa terlihat sebagai pihak berdiri paling depan. Mimbar bebas sebagai istilah menjadi sangat terkenal pada saat itu.

Mimbar bebas adalah sarana bagi siapa pun yang ingin menyampaikan pandangan politiknya. Panggung itu dibuat dan didirikan di halaman depan kantor sebuah partai politik yakni Kantor Pusat PDI jalan Diponegoro no 58 Jakarta Pusat. Tak ada hal salah atas kegiatan ini bukan?

Sejak Soeharto merasa sah memerintah negara ini dengan hanya berdasarkan selembar kertas berjudul Supersemar, cara memerintah layaknya kepemimpinan diktator militer dia buat. Sejak saat itu, sulit bagi rakyat Indonesia menemukan jejak demokrasi.

Konon PKI sebagai salah satu partai politik sah, saat itu dibuat dan digambarkan menjadi setan. Maka para pengikutnya pun harus dimusnahkan. Dan benar sehari setelah Supersemar, perintah atas penangkapan dan namun berujung pada pembantaian rakyat pun terjadi.

Bukan 1000 atau 10.000, konon ada ratusan ribu dan hingga jutaan rakyat dibantai, puluhan ribu rakyat dipenjara tanpa peradilan dan ribuan yang lain tiba – tiba kehilangan kewarganegaraannya.

Mereka adalah kaum terpelajar yang saat itu sedang menerima beasiswa dari negara dan bersekolah di banyak negara asing demi masa depan Indonesia yang pernah Soekarno cita – citakan.

Bukan kita sedang berdebat tentang pantas tidaknya PKI dijadikan tertuduh, hukum secara jelas telah dan masih menyatakan PKI adalah organisasi terlarang. Kita harus patuh atas posisi itu.

Bukan pada organisasi PKI nya yang kemudian dibubarkan dan maka kita marah, pada jutaan rakyatnya sendiri yang dibantai dan kemudian memilih sikap represif bagi pemerintahannya hanya karena jargon PKI setan dan kemudian membuat demokrasi kita mati, itulah yang membuat rakyat bangkit.

Sejak saat itu siapa pun yang tak sejalan dengan pemerintah, serta merta predikat PKI akan disematkan. Demokrasi mati. Rakyat takut bersuara.

Di sinilah mahasiswa sebagai kaum terdidik hadir.

Nama Hariman Siregar kemudian kita kenal sebagai tokoh dan aktivis mahasiswa pada peristiwa Malari 1974. Dia adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Dia dituduh dan dijadikan kambing hitam atas Jakarta yang terbakar saat itu dan kemudian dijatuhi hukum 6 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat.

Petisi 50 yakni sekelompok jendral berwarna nasionalis yang baru muncul tahun 80an pun tak mampu memberi tekanan pada Soeharto. Kelimapuluh orang tersebut justru dicekal dan bahkan akses perbankan hingga banyak hal dalam hidup privat mereka dibuat rusak.

Kasus Marsinah tahun ’93 melalui jalur buruh dan Wiji Thukul sang seniman yang tak lagi terdengar kabarnya sejak 1998 memberi daftar tambahan atas korban kegilaan Orde Baru

Peristiwa Priok tahun 1984 dengan warna agama runtuh. Demikian pula peristiwa dukun santet di Banyuwangi 1998 adalah cara pamerintah Orde Baru meredam NU sebagai kekuatan organisasi Islam terbesar di mana Gus Dur adalah salah satu sosok yang dianggap sebagai ancaman oleh Soeharto.

Pun Megawati dengan PDI nya harus dibuat runtuh melalui peristiwa kudatuli ‘96.

Ada yang berbeda pada peristiwa 27 juli ‘96 ini, yakni bersatunya mahasiswa dan politisi. Ini sebuah kebaruan.

Seorang Budiman Sudjatmiko dan kawan kawan aktivis mahasiswa yang kritis saat itu mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di tahun ‘96 dan secara smart langsung membaur dalam satu panggung di Diponegoro no 58.

Budiman, sama dengan banyak mahasiswa angkatan 80-90 an, adalah segelintir warga yg masih memiliki jiwa merdeka. Sikap kritisnya keluar manakala kesenjangan hadir pada masyarakat dan demokrasi mati.

Banyak orang menyebut angkatan mereka adalah sebagai generasi mahasiswa GELAP.

Saat mereka ingin mendapat bacaan politik, mereka harus mencari di ruang – ruang gelap dan dari pemasok yang gelap pula. Bahkan hasil fotocopynya pun tampak gelap (buram).

Siapa pun yang pada saat itu memiliki buku “beraroma gelap”, dan ketangkap, pasti akan dimasukkan ruang gelap, penjara.

Saat mereka ingin berdiskusi politik, mereka harus mengunci rapat – rapat pintu ruang kampus mereka dengan main gelap-gelapan pula dari dosen apalagi rektor.

Tak ada seorang pun dosen siap menjadi “pembimbing” secara benderang pada diskusi seperti itu. Pun tak ada rektor yang akan memberi ijin salah satu ruangan di kampusnya boleh dipakai kegiatan seperti itu bila tak ingin keesokan harinya panser masuk kampus.

Mereka berkembang menjadi produk militan bagi lahirnya demokrasi karena keadaan. Mereka dipaksa menjadi pintar dan kritis karena ketika hanya demi mendapat saja, ancaman penjara sudah menanti mereka. Mereka lahir dan tumbuh karena perjuangan.

Pada akhirnya, menjadi masuk akal bila panggung Diponegoro 58 selalu menjadi penuh saat mereka berorasi. Ada banyak orasi bermutu dan mencerahkan akan kita dapat dari mereka para kritis dan pintar itu.

Ada gelegar suara marah namun tak ada kebencian di sana.

Istilah – istilah oligarki, rezim, diktator, fasis, anarki, proletar hingga borjuis dan birokrat terdengar begitu fasih dan merdu ketika keluar dari mulut mereka. Mereka inilah sedikit dari jumlah kaum terpelajar dan kritis yang rela menyumbangkan idealismenya.

Apa yang terjadi pada panggung itu adalah Budiman dan PRD nya memulai suatu cara yang memiliki unsur kebaruan. Mahasiswa bergabung dengan politisi yang sejalan dengan idenya dan menggunakan momen itu sebagai cara mereka berjuang.

Gema mimbar bebas yang diinisiasinya memberi gaung pada makna demokrasi. Mereka yang muda dan sekaligus melek informasi dan komunikasi pun memanfaatkan internet yang meski saat itu masih sangat terbatas dan namun mampu membuat peristiwa Diponegoro 58 pun mendunia.

“Pantaskah Soeharto khawatir?”

Kabarnya, melalui Kodam Jaya negara masuk. Konon,  pejabat Kasdam saat itu adalah Brigjen Susilo B Yudhoyono. Paling tidak, ini adalah apa kata rekomendasi Komnas HAM.

Konon, sekelompok orang berbadan tegap, berambut cepak dengan sikap sigap layaknya militer namun berkaos PDI dengan warna merahnya yang khas seolah mewakili PDI Soerdjadi, mereka menyerbu gedung kantor itu. Tak butuh waktu lama kantor PDI itu langsung luluh lantak.

Tak butuh waktu lama, Budiman Soedjatmiko dan kawan – kawan dijadikan kambing hitam atas terbakarnya lebih dari 4 gedung dan puluhan kendaraan umum di Jakarta pusat.

Hari Sabtu tanggal 27 Juli 1996 itu Jakarta membara. Banyak juga yg memaknai hari itu dengan sebutan Sabtu kelabu. Minggu, 11 Agustus 1996 malam, Budiman Sudjatmiko dan empat aktivis Partai Rakyat Demokratik yakni Petrus Hari Hariyanto, Iwan, Ignatius Pranowo, dan Soeroso, diciduk di sebuah rumah di kawasan Depok, Jawa Barat.

Tak terlalu berlebihan bila premis “hanya demi menjegal seorang pemuda berumur 26 tahun, pemerintah Orde Baru harus membuat Jakarta membara dan seorang jendral pun diterjunkan” adalah benar.

Paling tidak, itulah bunyi putusan terkait perkara tersebut. Budiman Sudjatmiko dan kawan – kawan divonis 13 tahun penjara karena dianggap MENDALANGI kerusuhan 27 Juli 1996.

Dan seperti biasa, agar semua rakyat maklum, sekaligus tambah takut, sebutan PKI pun disematkan pada PRD. Bukan Megawati jatuh, beliau justru mendapat simpati luar biasa besar dari rakyat atas kasus kudeta 27 Juli itu.

Benar adanya Megawati harus menerima kalah ketika Soerdjadi dimenangkan, tapi hal itu justru memantik lahirnya PDI Perjuangan. Panen dukungan padanya pun berbuah perolehan sebesar 33,7% suara rakyat dan memantapkan PDIP sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu 99.

Reformasi dengan ujung tombak mahasiswa benar dapat meruntuhkan dominasi orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Namun, celakanya, pengkhianatan pada reformasi itu langsung terjadi seketika. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu digembosi di tengah jalan.

Amien Rais, saat yang bersangkutan masih menjadi ketua umum PB Muhamadiyah yang selalu tampak bersama dengan Gus Dur ketua PBNU dan Megawati, justru memilih dan menjadikan dirinya sendiri sebagai batu sandungan.

Dengan Poros Tengahnya, dan posisi dia sebagai Ketua MPR, dia membuat manuver dan menggagalkan hak dari Megawati untuk menjadi Presiden. Gus Dur menjadi Presiden mengganti potensi Megawati.

Demikian pula dengan nasib Gus Dur, beliau pun pada akhirnya juga harus menerima getah atas manuver bebas Amien Rais selanjutnya. Almarhum Gus Dur dapat dipaksa mundur setelah baru berkuasa 2 tahun. Ini semua tak mungkin terjadi tanpa muslihat Amien.

Habibie, Gus Dur dan Megawati memang sempat menempati posisi sebagai kepala rumah tangga pada rumah besar bernama Indonesia, namun terlalu singkat. Potensi hebat beliau bertiga dapat lakukan bagi bangsa ini terhambat oleh singkat dan cepatnya waktu.

Gus Dur sempat memberi kemenangan pada warna keberagaman dan reposisi Militer dan Kepolisian. Megawati sudah harus disibukkan dengan jadwal pembayaran hutang dari rentenir bernama IMF. Privatisasi BUMN yang disarankannya tak membuat rakyat senang.

Lima tahun usia reformasi yang penuh drama mau tak mau justru terlihat memberi dampak tak baik. Rakyat terpancing menjadi tak sabar apalagi puas. Rasa bahwa kepemimpinan sosok militer seperti Soeharto tampak lebih menggiurkan, kembali menguat.

Paling tidak, rasa tak puas pada PDIP langsung terlihat dari pencapaian partai itu yang turun drastis pada Pemilu 2004. PDIP hanya memperoleh 18,5%.

Golkar, partai yang kemarin dulu dianggap ada di balik orde baru, anehnya justru tampil sebagai pemenang dengan 21,58% menjadi yang tertinggi.

Susilo Bambang Yudhoyono, sosok militer, sosok dirindukan saat reformasi sepertj tak memberi jawab, dengan partai besutannya sendiri terpilih. Lima tahun periode pertamanya dianggap cukup menjanjikan dan maka dia kembali terpilih.

Paling tidak Demokrat yang pada tahun 2004 hanya memperoleh 7,45% suara, pada pemilu berikutnya justru naik drastis menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 20,85%.

Soeharto benar telah diturunkan. Namun ketika pengaruh adalah ukurannya, jelas dia masih sangat perkasa.

SBY tak mungkin menang tanpa adanya kekacauan 5 tahun pertama reformasi. Para politisi penerima mandat reformasi terlihat tak mampu mempertahankan apa yang menjadi perjuangan mahasiswa. Para politisi juga terlihat seperti tak mampu mempertahankan apa yang rakyat pernah perjuangkan pada ‘98.

Bandul sepertinya justru kembali pada dia yang dekat dan akrab dengan Orde Baru. Tak ada yang salah. Rakyat sebagai pemilik suara telah menentukan pilihannya. Itulah demokrasi.

Periode ke 2 SBY kembali membuka mata sang pemilik suara. Ramai-ramai mereka meninggalkan apa yang pernah mereka pikir baik. Korupsi adalah kata kuncinya.

Kader Demokrat yang dalam kampanyenya selalu berkata “katakan tidak pada Korupsi” justru membuat rekor. Ketum, Bendahara hingga kader yang sedang menjabat Menteri masuk penjara.

Perolehan suara Demokrat pada 2019 yang hanya sebesar 7,7% adalah bentuk terjun bebas atau dengan kata lain rakyat secara serentak langsung meninggalkannya dalam seketika adalah bukti telak atas itu semua

Lalu, entah dari mana berita itu bermula, kabar bahwa di luar sana ada lilin kecil menyala terdengar. Seorang rakyat biasa memegang dan menyalakan api itu.

Kabar itu diberitakan dan diulang terus meneris melalui sosial media, melalui jari tangan rakyat dan menyebar hingga pelosok negeri. Bukan oleh media mainstream.

Bu Mega mendengarnya.

Redup dan tak terlalu bermakna bila terang yang dihasilkannya adalah apa yang menjadi ukuran. Namun, dia yang membawanya adalah rakyat biasa seperti kita.

Seperti ngengat, kita mengerubunginya.

Dari Solo api itu sengaja dibawa ke Jakarta dan terang itu pun benar adanya. Kini benderang cahaya itu telah bersama dalam keseharian kita.

Itu hanya sebuah kiasan tentang siapa pun dia yang meskipun berasal dari rakyat biasa dan bekerja seperti rakyat apa adanya, pasti akan diterima.

Seorang tukang kayu menjadi Presiden, itu bisa terjadi karena sebab reformasi. Dan itu adalah apa yang kini sudah menjadi kesepakatan kita bersama. Itu adalah pilihan bagi cara kita hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Itu juga tentang hakekat demokrasi dan itu bisa terwujud karena jasa mereka para pahlawan demokrasi. Mereka, rakyat biasa dan mahasiswa yang gugur dan dipenjara karena peristiwa 27 Juli hingga reformasi ‘98.

Tugas kitalah menjaga dan melindungi api reformasi itu tetap menyala.
***
(Leonita Lestari)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan