Ada berita menghampiri saya yang mengatakan bahwa saat ini tengah terjadi “perang” faksi di internal PDIP. Hal ini terkait dengan rekomendasi capres-cawapres yang akan diputuskan oleh Megawati. Ada tiga faksi, yakni: pendukung Puan, pendukung Ganjar, dan abstein. Yang abstein dikabarkan lebih milih calon lain di luar dua kader tersebut. Atau, malah mengusulkan ide “gila” menyandingkan Ganjar-Puan sekalian.
Alasan faksi ini, PDIP tidak perlu berkoalisi dengan partai manapun dan bisa mengusung sendiri (lolos PT 20%). Dalam mengusung calon memang tidak membutuhkan koalisi, namun saat “pertarungan” nanti, mampukah mesin partai bekerja sendiri? Padahal salah satu tujuan “koalisi” adalah menambah amunisi agar lebih banyak kalangan yang memberi suara.
Apakah PDIP kepedean? Namanya saja rumor, dia bisa menjadi angin sepoi-sepoi yang lama-lama hilang, tapi bisa juga menjadi angin badai. Terkait faksi di tubuh PDIP, saya kira merupakan hal yang wajar dan di setiap partai pasti juga mengalami fenomena ini. Alasan mereka, inilah demokrasi di tubuh partai kadang beda pandangan sebagai hal lumrah. Sepanjang tidak mengkristal dan menjadi terlembaga.
Sah-sah saja misal mengusung pasangan Ganjar-Puan sebagai sebuah opsi menjaga “keberlanjutan” program yang belum usai di masa Jokowi dan sesudahnya nanti. Tidak heran sebenarnya PDIP mengusulkan pula agar GBHN diadakan lagi sehingga tidak setiap pergantian presiden maka ganti program dan kebijakannya. PDIP menganggap bahwa membangun bangsa itu tidak cukup 5-10 tahun tapi bisa mencapai 30-50 tahun lamanya.
Sebagai langkah politis tentu opsi Ganjar-Puan baik buat PDIP, namun sepertinya tidak untuk urusan taktis-strategis. Selama ini, PDIP setiap tampil di gelanggang pemilu terutama pilpres selalu mengusung ideologi nasionalis-religius (meski di tahun 2009, Megawati lebih tertarik berpasangan dengan Prabowo/nasionalis). Kolaborasi kaum nasionalis dan religius dianggap menjawab suara rakyat bawah.
Tahun 2004 Megawati pernah bersama Hasyim Muzadi (NU) dan tahun 2019 Jokowi berpasangan dengan Maruf Amin (NU). Penggalangan suara dari masyarakat yang berbasis agama (terutama NU) tentu sangat signifikan, karena simbol mereka ada di cawapres. Atau realistis lainnya, jika capres berpasangan dengan kader partai lain yang memiliki suara representatif. Tentu akan membantu peraihan suara.
Namun jika Ganjar-Puan, dapat dipastikan kantung suara hanya berasal dari konstituen PDIP sendiri. Dan mesin partai yang bekerja hanya PDIP sendiri juga. Paling mungkin mendapat asupan dari komunitas relawan Ganjar (yang lebih cair dan umum, ketimbang relawan Puan yang umumnya berasal dari partai). Relawan Ganjar pun dipastikan mayoritas merupakan irisan dari relawan Jokowi. Tidak semua pula relawan Jokowi yang memilih Ganjar namun menolak Puan di sana.
Jadi memang bukan opsi yang strategis alih-alih taktis. Jika alasan keberlanjutan, bisa saja Puan tanpa harus menjadi cawapres, namun ketika masanya Ganjar habis (misalnya jadi), maka bisa beralih kepada Puan. Puan sendiri karir politiknya masih bisa naik menjadi Ketua MPR atau misal Ketum PDIP menggantikan Megawati, ibunya. Namun jika memang dipaksakan maka PDIP gambling. Menang atau tidak dapat apa-apa.
Semua itu pasti menggunakan hitung-hitungan politik mulai dari pilihan yang ideal sampai yang pragmatis. PDIP dengan Megawati sebagai ketumnya bukanlah partai kemarin sore yang polos cenderung naif. Megawati dan PDIP sudah teruji dalam memainkan politik nasional. Contoh di tahun 2014, hasil kongres PDIP menetapkan Megawati sebagai capres. Namun pada akhirnya diserahkan kepada Jokowi dan sukses.
Lantas bagaimana wacana di awal dulu yang getol menjodohkan Prabowo dengan Puan? Menurut faksi abstein di PDIP sangat tidak pas. Masa pemenang hanya mendapat posisi cawapres? Sedang jika dibalik Puan-Prabowo, sudah pasti Gerindra tidak terima. Terlebih ada rumor lain yang mengatakan bahwa Prabowo kemungkinan berdekatan kembali dengan kelompok Islam garis keras, itu jika Anies gagal nyapres, atau malah jadi cawapresnya Prabowo.
Wallahualam
***
Agung Wibawanto