Nahdlatul Ulama Dan Marhaenisme Adalah Sebuah Jawaban Untuk Nusantara

Refleksi 1 Abad Nahdlatul Ulama

banner iklan 468x60

Pada hari ini, Nusantara mempunyai hajatan besar dimana Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 akan memperingati hari kelahirannya. NU sebagai Organisasi yang mewakili ulama tradisional mendapat bimbingan ideologis dari Ahlus Sunnah wal jamaah (Aswaja) dari tokoh- tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K. H. Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya.

Perayaan seperti haul, peringatan wafatnya seorang kyai, yang kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar, para kyai dan mantan santrinya hingga sekarang masih dilakukan secara rutin pada beberapa wilayah di tanah air. Hal ini menunjukan betapa kuatnya NU memegang tradisi.

Dalam perjalananya yang begitu panjang hampir 100 tahun, Nahdlatul Ulama tentunya mengalami pasang surut entah dari faktor internal dan atau eksternal. Dalam sejarah, penciptaan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja).

Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma (keputusan ulama terdahulu). Qiyas atau contoh kisah Al-Qur’an dan hadits menurut K.H. Mustofa Bisri  memiliki tiga substansi di dalamnya, yakni sebagai berikut:

  1. Dalam bidang syariat Islam, sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab NU mengakui empat madzab tersebut untuk kedamaian umat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali), walaupun demikian Kyai NU sangat taat kepada Mazhab Syafi’i.
  2. Dari perspektif tauhid (ketuhanan), yang dianut adalah ajaran Imam Abu Hasan Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi
  3. Dasar-dasar Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf merupakan sebuah proses untuk mengintegrasikan ide-ide Sunni yang berkembang. Karena Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik ( memilih kebenaran)

Menurut Muhammad Abu Zahrah, Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis dan teoritis. Untuk ideologi ahlussunnah wal jamaah lahir karena alasan yang sangat mendasar yaitu terkait kekuatan penguasa saat kolonial Belanda yang berupaya untuk menghancurkan potensi Islam.

Di sinilah kemudian tumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan ulama untuk menjaga kemurnian dan keutuhan ajaran Islam. Di samping rasa tanggung jawab ulama sebagai pemimpin yang ingin memperjuangkan kemerdekaan dan terbebas dari belenggu penjajahan.

Ulama juga memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga kedamaian bangsa Indonesia (Hubbul Wathon Minal Iman). Berdasarkan sejarah NU, organisasi islam terbesar di Indonesia ini telah memantapkan dirinya sebagai Traditional Keeper dengan mempertahankan ajaran empat mazhab, yang diterima oleh sebagian besar umat Islam di seluruh tanah air.

Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada bidang- bidang yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, seperti kehidupan pemilik tanah dan para pedagang. NU juga selalu menekankan pentingnya menjaga dan menghormati kekayaan budaya nusantara. Menjaga kehormatan Islam di Indonesia diupayakan  dengan cara yang dapat diterima oleh kelompok lain. Meskipun secara statistik dikategorikan mayoritas namun tidak dipaksakan oleh kepentingan masyarakat dengan  penindasan atau penolakan keberadaannya.

Pengembangan nilai- nilai kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Islam yang toleran secara tidak langsung berdampak positif terhadap upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan jika dibandingkan dengan sikap tegas beragama yang
dapat membahayakan hak asasi manusia. Periode Orde Lama, NU memutuskan menjadi partai politik semata-mata karena berkonfrontasi dengan Komunis.

Kekuatan komunisme sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama akhirnya mampu mempertahankan dasar Negara Pancasila dengan lantang dan konsisten. Pada masa Orde Baru, karena kebijakan pemerintah yang kuat, posisi NU bersama para  Ulama dan kelompok Islam lainnya, kembali sebagai kelompok sosiologis dan religius.

Marhaenisme menjadi suatu ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme untuk mengangkat harkat hidup massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia kaum pinggiran yang sama dengan kaum nahdliyin), dimana memiliki alat produksi
namun (masih) tertindas.

Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh golongan rakyat kecil yang disebut  petani dan buruh (proletar). Hidup mereka selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa, Borjuis atau Kapitalis.

Lantas bagaimana hubungan antara NahdlatulUlama dan Marhaenisme sejatinya?

Dinamika sosial, kultural, ekonomi dan politik rakyat Indonesia menjadi sumber objektif warga Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Aswaja dalam praktik kehidupan masyarakat Nusantara. Aswaja Nahdliyah, bersumber dari ajaran Islam yang sakral, terdiri dari ajaran tauhid, fiqih, dan tasawuf kemudian berdialektika dengan masyarakat Nusantara yang berkarakter hidup rukun, harmonis, musyawarah-mufakat, gotong royong dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan atau kebinekaan.

Aswaja Nahdliyah meeting point dengan Marhaenisme yang juga digali dari sumber masyarakat Nusantara itu pula. Marhaenisme mengambil inspirasi dari pertumbuhan dan dinamika masyarakat Nusantara, kemudian membangun ideologi bagi kaum Marhaen Indonesia. Berkarakter dan jiwa gotong royong, rukun, harmonis, guyub, kekeluargaan, pluralistik, dan berjiwa ketuhanan. Itu adalah pokok ajaran Marhaenisme,

Ajaran Marhaenisme, juga terinspirasi dari sumber ajaran Ketuhanan dan Keagamaan (Islam). Sebagai kekuatan spiritualnya untuk mengimbangi antara factor materialistik dan spiritual secara berimbang. Marhaenisme yang mengandung ajaran nasionalisme
yang berjiwa ketuhanan, keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan.

Nasionalisme Aswaja dan Marhaenisme adalah “titik temu” dalam membangun politik kebangsaan untuk menyelenggarakan ‘nation
building’ dan ‘character building nation”. Keduanya merupakan kekuatan bangsa. Dialektika serta konsolidasi keduanya dapat menjadi jawaban untuk menghadapi tantangan bangsa dan negara saat ini,

Era globalisasi yang hampir tidak ada skat dan batasan antara negara adalah sebuah kekuatan yang menginginkan ketidak berlangsungan Negara Indonesia tercinta ini.
Bahkan pada Muktamar NU ke -23 Di Kota Surakarta 28 Desember 1962 bung Karno menyampaikan :

“Saya sangat cinta sekali kepada NU.Saya sangat gelisah apabila ada orang yang menyatakan saya tidak cinta terhadap NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke Muktamar ini, agar orang tidak
meragukan kecintaan saya kepada NU” ( Ir. Soekarno)

***

Heru Subiyantoro

Ketua Umum Pejuang Marhaenis Nusantara

( Bumi Majapahit 31 januari 2023)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan