APBN tahun 2023 yang mulai dialokasikan awal tahun ini mencatatkan sejarah anggaran khususnya untuk sektor pendidikan.
“Untuk pertama kali dalam sejarah kita, anggaran pendidikan kita mencapai di atas Rp 600 triliun, yakni Rp 612,2 triliun,” jelas Sri Mulyani dalam acara Mandiri Investment Forum (1/2/2023)
Bendahara Umum Pejuang Marhaenis Nusantara (PMN) Mulyadi Soma menanggapi kebijakan pemerintah terkait APBN tersebut kepada Media Suluhnusantaranews.
“Pemerintah membuktikan komitmen kuat untuk upaya peningkatan kualitas SDM. Anggaran sebesar itu bisa diasumsikan semacam “investasi masa depan” bangsa ini. Untuk jangka waktu 5-10 tahun kemudian program pendidikan yang dibiayai negara bisa menghasilkan generasi yang unggul. Bukan berarti hari ini dana disalurkan langsung membuat mereka pintar” jelas Mulyadi.
Informasi yang didapat dari Kemenkeu, dana 612,2 triliun tersebut termasuk untuk pemberian beasiswa melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang mengelola dana abadi, dan telah menghasilkan hampir 18.000 lulusan dengan pemberian sebanyak 35.536 beasiswa.
“Tugas kita bersama mengawal alokasi anggaran tersebut tepat sasaran. Utamanya kepada masyarakat tidak mampu dan siswa berprestasi. Kalau mau ikut mengawasi, lakukan sebelum anggaran disalurkan kepada yang berhak. Jika sudah tersalur kemudian muncul protes, biasanya akan jadi bahan evaluasi untuk tahun berikutnya. Seringkali kita temui, siswa dari keluarga mampu justru mendapat kesempatan bea siswa. Sementara Kartu Indonesia Pintar (KIP) juga belum merata diberikan. Akses warga tidak mampu untuk mendapatkan KIP dipersulit, dengan alasan jatah anggaran habis” lanjut Mulyadi membuka fakta yang selama ini sering kita temui.
Penting bagi suatu bangsa untuk terus mencari cara menerjemahkan komitmen anggaran pendidikan dalam bentuk kualitas pendidikan di Indonesia. Sekolah gratis dari SD hingga SMA negeri pada kenyataannya belum mampu mengejar uji kompetensi bersaing dengan negara Asean.
Skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia masih jauh di bawah rata-rata negara Asean, menunjukkan besarnya anggaran tidak menjamin kecerdasan meningkat tiba-tiba. PISA dilakukan untuk mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan (aplikasikan) dengan pengetahuannya.
Sejumlah siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak di masing-masing negara untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains.
Hasilnya untuk kemampuan membaca, skor siswa Indonesia mencapai 371 berada di bawah skor rata-rata negara lain yakni sebesar 487. Capaian skor rendah juga didapat Indonesia untuk bidang matematika (379) dan sains (396).
“Kegelisahan kita di bidang pendidikan sebagai warga di negara sebesar Indonesia ini hampir sama. Penyelewengan anggaran masih banyak dilakukan oleh oknum pejabat dinas pendidikan. Saya mengilustrasikannya begini : Ada anggaran 10 ribu bisa untuk membiayai 1000 siswa. Dikorupsi 20 ribu sama artinya menghilangkan hak pembiayaan 200 orang siswa. Semakin besar anggaran, makin meningkat pula potensi ambisi orang untuk menyelewengkan. Persoalan dasar masalah mental korup itu masih menjadi PR besar kita semua” imbuh Mulyadi.
Berbagai upaya meminimalkan kebocoran penggunaan anggaran pendidikan sudah dilakukan pemerintah, termasuk dengan penyaluran sistem elektronik (online). Namun kasus korupsi dana pendidikan masih saja terjadi.
“Korupsi itu ada hierarki-nya. Semuanya melihatnya dari bawah ke atas. Kalau yang di atas memberi contoh bersih, otomatis di bawahnya akan mengikuti. Saya tidak bilang yang di pusat itu korup lho, cuma belum bisa memberi contoh yang bersih dan bisa ditiru itu seperti apa” pungkas Mulyadi.
***
Redaksi Suluhnusantaranews