Awal saya mengetahui ada rencana 100 tahun berdirinya organisasi NU akan dibikin besar-besaran, ya biasa saja. Paling mengadakan semacam tasyakuran di Kantor PBNU atau memilih di daerah yang memiliki basis NU terbesar di Indonesia. Lalu, saya mengetahui pula jika Erick Thohir (ET) didaulat menjadi Ketua Panpel. Di sini saya mulai agak surprise. Diketahui beberapa waktu belakangan memang ET tampak dekat dengan warga Nahdliyyin.
Bahkan juga ada “suara-suara” kalau ET capres potensial kalangan NU, atau setidaknya wacapres lah. Saya tidak melihat itu. Yang saya ketahui bahwa ET adalah Master of Entertainment. Beberapa kali acara yang “dipegangnya” berhasil sukses bahkan viral. Sebut saja Ceremony Asian Games 2018, lalu G20 (meski ada pula sosok Wishnutama di samping ET), hingga pernikahan Kaesang-Erina beberapa waktu lalu.
Semuanya keren berkat tangan dingin ET mengatur semuanya. Ciri acara yang dibuat ET adalah megah dan menampilkan ciri tradisional (Nusantara). Saya berpikir, acara seabad NU bakal kolosal, sudah pasti. Tapi pemikiran saya tidak hanya sampai di situ. Kenapa PBNU menggelar acara ini secara besar-besaran? Emang ada yang salah? Tentu tidak. Saya tergelitik mengetahui apa goal dari acara ini? Apa target utamanya?
Saya selalu percaya, setiap event atau peristiwa, yang itu melibatkan tokoh nasional berskala besar, tentu ada pesan yang ingin dicapai dan disampaikan. Pesan tersebut ada yang disampaikan terbuka, tapi juga ada yang berupa hidden agenda. Artinya, hanya dibahas dan diketahui oleh pemilik hajat dan panitia saja. Hal itu sudah lumrah. Lantas apa hidden agenda nya PBNU? Sehingga perlu diadakan besar-besaran (kalau saya mengatakan sudah seperti show force).
Rasa penasaran membuat saya sampai memutuskan untuk mendatangi langsung acara yang diberi tittle “Resepsi 1 Abad NU” di GOR Deltras Sidoarjo ini. Pada dua acara utama yang saya ikuti, yakni dini hari tanggal 7/2, dan pagi hari sampai siang di tanggal yang sama.
Lautan manusia (warga Nahdliyyin) memang nyata berkumpul datang dari seluruh daerah di Indonesia. Yang saya tahu karena sempat menanyakan asal mereka, ada yang dari Palembang, Lampung, Jakarta, Bali, Lombok dan kalau seputaran Jateng, Jabar dan Jatim sudah pasti banyak.
Bahkan beberapa media asing pun ada beberapa yang saya temui. Sengaja saya tidak memakai atau mendaftar sebagai pers, karena saya memang datang atas nama pribadi. Dari hasil pantauan beberapa teman media, diperkirakan radius 5-6 km dari GOR Deltras dipenuhi nahdliyin yang ingin ikut meramaikan acara. Mereka bukan berjalan melakukan aksi demo tapi duduk dengan tertib sambil mengikuti acara dengan hikmat melalui layar besar yang dipasang panitia.
Dari sisi kuantitas, jauh lebih banyak ketimbang peserta asli massa kelompok Monaslimin, misalnya. Dari sisi kualitas juga warga nahdliyin terlihat tertib, damai bahkan banyak sendau guraunya (tidak emosional seperti kelompok yang itu). Beda banget.
Saya pun berpikir, apakah ini pesannya? Ingin menunjukkan kepada kelompok Islam garis keras, bahwa massa NU lebih banyak dan solid (kelompok Rizieq pernah menantang menurunkan massa ke jalan, siapa paling banyak).
Dan warga nahdliyin yang datang ini belumlah semuanya. Bayangkan pula beberapa waktu lalu warga Muhammadiyah menggelar muktamar di solo sekian pula banyaknya. NU dan Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan pengikut terbesar di Indonesia bahkan ada juga yang di LN. Jadi, tidak perlu pamer jumlah massa demo dengan NU dan Muhammadiyah, jauh. Belum lagi dari kualitas SDM nya. NU dan Muhammadiyah punya pondok dan sekolah, sementara kelompok itu hanyalah alumni Monaslimin.
Atau juga, Gus Yahya yang belakangan kemarin sempat beradu kata dengan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), ingin menunjukkan pula betapa pengaruhnya, sebagai ketua PBNU, dalam menggerakkan massa NU (yang diklaim Cak Imin konstituen PKB). Terakhir, Ketua Bidang Keorganisasian PBNU, Ishfah Abidal Aziz, kritik lagu “1 Abad NU” karya KH Musthofa Bisri, gubahan Tohpati, dipakai dalam acara PKB. Cak Imin hanya bilang, “Sekelas staf gak perlu dikomentari”.
Jelas terlihat ada ketegangan antara Cak Imin selaku Ketum PKB dengan Pengurus PBNU pimpinan Gus Yahya. Dalam tahun politik menjelang 2024, NU yang terutama di masa pemerintahan Presiden Jokowi terlihat berperan penting, juga sepertinya ingin menunjukkan bahwa “Ini lho pemilih riil NU“. Meski PBNU mengatakan bahwa NU tidak ingin berpolitik dan tidak ingin dimanfaatkan partai politik, namun begitu pastilah punya sikap terhadap kontestasi pemilu 2024 nanti.
Dengan fakta acara seabad NU di Sidoarjo ini sedikit banyak menunjukkan bahwa warga nahdliyin masih tetap kompak di bawah kepemimpinan Gus Yahya (PBNU), sekaligus menyampaikan pesan, tudingan Cak Imin tidak benar. Cak Imin mengatakan, “Suaranya NU itu ke PKB, PBNU tidak ada pengaruhnya sama sekali,” sebuah “ledekan” yang menyakitkan semestinya. Namun Gus Yahya tidak terlalu meladeni lebih lanjut semua omongan Cak Imin, dan kini dia membuktikan dengan menggelar acara “1 Abad NU”.
Tidak kurang, presiden dan apalagi wakil presiden turut hadir berpanas-panasan di GOR Deltras. Gus Yahya dalam sambutannya pun mengeluarkan suara yang menggelegar seolah ingin berteriak agar didengar Cak Imin. Addie MS juga turut berpartisipasi menjadi dirigen dalam lagu-lagu koor yang dinyanyikan oleh paduan suara mengenakan beragam pakaian tradisional Indonesia. Saya hanya bisa takjub dan salut.
Bergetar dada ini setiap mendengar apalagi ikut menyanyikan lagu Ya Lal Wathan karya KH Wahab Chasbullah, terlebih dipimpin oleh seorang maestro sekelas Addie MS.
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon. Hubbul Wathon minal Iman.
Wala Takun minal Hirman. Inhadlu Alal Wathon. 2x
Indonesia Biladi. Anta ‘Unwanul Fakhoma.
Kullu May Ya’tika Yauma Thomihay Yalqo Himama.
Kullu May Ya’tika Yauma Thomihay Yalqo Himama .
Pusaka hati wahai tanah airku. Cintamu dalam imanku.
Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah hai bangsaku. 2x
Indonesia negeriku Engkau panji martabatku.
Siapa datang mengancammu .
Kan binasa di bawah durimu.
Siapa datang mengancammu .
Kan binasa di bawah durimu.
—–
Sampai bertemu kembali Sidoarjo