Sosok yang satu ini tampil garang saat sebelum pecah reformasi. Berorasi tentang arti demokrasi yang sesungguhnya, membakar empati rakyat yang sudah lelah tiga dasawarsa terbelenggu monarki Orde Baru.
Panggung di depan kantor DPP PDI jalan Diponegoro kala itu di tahun 1996, adalah mimbar corong kebebasan demokrasi, seolah menantang incaran laras senapan otoriter penguasa. Menarik picu hanya tinggal menunggu habis kesabaran mereka yang pasti terjadi.
Dia yang sudah putus urat takutnya pada penguasa. Di usianya yang baru 27 tahun sudah berani menerobos zona nyaman hidup di tengah kepalsuan demokrasi.
Dia pula yang memang dilahirkan untuk menjadi martir kebebasan, demokrasi dan tumbangnya orde baru. Menanam benih-benih reformasi butuh super nyali tidak hanya berani mati. Rekan seperjuangannya sudah lebih dulu raib, hilang dan hanya dikenang nama. Jumlahnya bisa ratusan berkat operasi khusus satpam-satpam orde baru yang hanya tunduk pada perintah komando.
Panglima TNI Feisal Tanjung saat yang seharusnya bisa menjawabnya, atau setidaknya bertanggung jawab atas “mbalelonya” Prabowo membentuk Tim Mawar.
Lelaki berkacamata itu fokus menikmati perjuangannya, menanam benih “pemberontakan” penolakan Pemilu. Bagaimana mahasiswa dibuatnya marah atas tekanan militansi Soeharto yang menolak tunduk pada kegelisahan rakyatnya. Massa ikut terpapar, elitnya bersiap cuci tangan.
Peristiwa Kudatuli berdarah menjadi alasan konyol memenjarakan dia, membungkam bersama puluhan kawan lainnya. Dituduh otak kerusuhan, namun menolak tunduk pada pengadilan rekayasa. Vonis penjara 13 tahun padanya justru menjadi pemicu kemarahan rakyat di luar terali besi.
Ya, hanya nama dia yang dianggap biang kekacauan orde baru, bukan Megawati. Bukan pula Fadli Zon, Andi Arief, Fahri Hamzah, Rosa Damayanti, Rieke Diah Pitaloka, Pius Lustrilanang, Adrian Napitupulu, Desmon Mahendra dan puluhan aktivis lainnya yang namanya tidak populer. Tapi ikut melukis sejarah.
Reformasi pecah, Soeharto mundur meski tidak lantas membuat orde baru benar-benar tumbang. Kabar hingar-bingar euforia mahasiswa menguasai Gedung Parlemen dinikmatinya di dalam terali besi. Satu tahap revolusi telah terlewati. Dan dia membaca di dalam penjara.
Kondisi berangsur membaik, dia juga baik-baik saja saat Gus Dur memberinya amnesti dan memberi kebebasan memilih kuliah di Luar Negeri. Menepi sejenak dari gejolak masa transisi pemerintahan.
Dia memilih melanjutkan studinya S2 dalam Ilmu Politik di Universitas London dan Hubungan Internasional di Universitas Cambridge. Ia pun berhasil menyandang titel Master Ilmu Politik dengan tesis tentang politik Cina kontemporer dan Master Hubungan Internasional dengan tesis mengenai politik Klientelisme.
2 kali menjadi wakil rakyat dilaluinya tanpa cacat bersama PDIP. Kalaupun untuk yang ketiga kalinya harus menerima kenyataan “disingkirkan” dengan alasan regenerasi. Politik tidak mengenal konyol ketika kader terbaik justru tidak terlalu dibutuhkan sebagai wakil rakyat.
UU Desa menjadi warisan fenomenal selama 10 tahun meramu kebijakan di legislatif. Menginisiasi dan merumuskan dana satu desa 1 milyar tiap tahun bukan pekerjaan mudah. Puluhan lawan politik harus diyakinkan bahwa berfoya-foya lah yang di kota, tapi desa juga punya hak disubsidi.
Lalu dia melompat lebih tinggi lagi. Memberdayakan desa dengan inovasi 4.0 menjadikan kota tidak lagi berjarak. Inovasi berbasis teknologi IT terkadang membuat orang bertanya : Bagaimana mungkin aroma tanah di desa bergerak bersama Gadget, Aplikasi dan algoritma? Mendekatkan bumi dan langit itu mission impossible sejak dalam pikiran.
Namun semua terjawab dengan fakta. Aspal mulus, saluran pengairan, jembatan beton yang dibangun mampu menggerakkan perekonomian di desa. Pembangunan memang harus dimulai dari desa. Karena di sanalah para penonton peradaban terbanyak yang sudah bukan waktunya lagi jadi penonton.
Pembangunan yang peradaban yang berbudaya bukanlah dari kota. Itu yang sebagian kita baru tersadar.
Dan dia yang kini masih asik berbicara tentang desa dan terus berbincang tentang Sosio-Nasionalis dan Sosio-Demokrasi.
Kami sering menyebutnya Bung Iko.
Baca juga : Sosok Kader Potensial Di Belakang Layar, Kemana Budiman Sudjatmiko?
Budiman Sudjatmiko: Bung Karno Sudah Memprediksi Perang Rusia Ukraina Sejak Tahun 1930
***
Suluhnusantaranews (Dahono Prasetyo)