Sengketa Lahan Jatikarya, Satu Fakta Masih Kuatnya Militer Menguasai Negara?

Konflik Agraria

banner iklan 468x60

Konflik kepemilikan lahan Jatikarya di Bekasi, Jawa Barat seluas 48 hektar kembali memanas. Warga masyarakat dan ahli waris diberitakan memblokir ruas jalan tol Cimanggis-Cibitung exit tol Jatikarya 2 pada hari Rabu (8/3/2023)

Sengketa lahan tersebut menjadi “duri dalam daging” penegakan hukum di Indonesia terkait kepemilikan lahan. Bagaimana tidak, keputusan hukum tertinggi setingkat PK MA yang sudah inkrah sejak 2019 dengan putusan warga ahli waris (Candu bin Godo dkk) sebagai pemilik lahan yang sah. Namun pihak tergugat/kalah dalam hal ini Kemenhan cc. Mabes TNI tidak kunjung melepaskan lahan yang sudah dikuasainya sejak tahun 2000.

Menarik ke belakang kronologis sengketa tersebut, bahwa lahan seluas 48 hektar di desa Jatikarya diperebutkan status kepemilikannya. Antara warga pemegang hak kepemilikan lahan dengan Institusi Kemenhan cc Mabes TNI. Dasar kepemilikan kemudian berproses persidangan dan oleh Pengadilan Negeri Bekasi, dasar kepemilikan dari pihak warga ahli waris dinyatakan legal, baik secara data, fakta historis maupun saksi-saksi.

Di tengah proses peradilan yang masih bergulir, PUPR mengambil sebagian lahan tersebut seluas 4,3 hektar untuk kepentingan pembangunan proyek jalan tol. Sebagai kompensasinya PUPR mengalokasikan uang ganti rugi lahan yang terkena tol sebesar 218 milyar yang dikonsinyasikan (dititipkan) di PN Bekasi.

Siapapun pihak yang memenangkan perkara perebutan lahan Jatikarya, berhak menerima uang ganti rugi tersebut.

Catatannya : Di sebelah barat dalam area lahan berkonflik tersebut telah didirikan perumahan dinas PATI (Perwira Tinggi) oleh Mabes TNI.

Terjadi klaim fisik secara sepihak oleh pihak Mabes TNI di tengah status kepemilikan lahan yang masih berproses di pengadilan. Lebih runyam lagi Mabes TNI mendaftarkan lahan tersebut dalam status Barang Milik Negara (BMN) atas nama Kemenhan.

Persoalan lahan 48 hektar yang belum berakhir, bertumpuk dengan berebut uang ganti rugi 4,3 hektar proyek tol. Antara Mabes TNI dengan warga ahli waris.

Baru di tahun 2018 putusan PK II MA turun dengan putusan warga ahli waris Jatikarya sebagai pemilik sah. Namun persoalan tidak lantas selesai.

Lahan yang telah terlanjur didirikan perumahan dinas PATI dan didaftarkan sebagai BMN tidak bisa langsung diserahkan kepada warga. Justru kemudian semakin kusut ketika berlanjut pembangunan perumahan dinas Koopsus TNI di area tersebut pada tahun 2019. Diresmikan oleh Panglima TNI Hadi Tjahjanto pada tanggal 30 Desember 2020.

Monumen peresmian perumahan Koopsus TNI di lahan Jatikarya oleh Panglima TNI Hadi Tjahjanto (Dok. Suluhnusantaranews)

Kementrian ATR/BPN yang kala itu masih dijabat Sofyan Djalil nyaris tak berbuat apa-apa, alias menyerah. Konflik tersebut dinilai terlalu sensitif karena melibatkan TNI sebagai institusi penting negara yang dinyatakan kalah melawan sekitar 106 warga ahli waris.

Melaksanakan putusan PK MA dengan menyerahkan status kepemilikan kepada warga menjadi dilema bagi Sofyan Djalil. Yang ada hanya menggantung selama mungkin alih status dengan alasan administrasi dan birokrasi.

Hingga akhirnya terjadi reshuffle kabinet, menteri ATR/BPN salah satu yang digantikan. Bagi warga Jatikarya pergantian menteri justru menambah “musibah” yang dialaminya.

Pengganti Sofyan Djalil adalah mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang secara institusi turut berperan dalam bertambah kusutnya konflik lahan Jatikarya.

(simak ulang paragraf 10 berserta bukti fotonya)

Hadi Tjahjanto yang dipercaya Jokowi menggantikan menteri Sofyan Djalil untuk menyelesaikan segudang konflik agraria. Khusus konflik Jatikarya menjadi catatan tersendiri karena justru sampai hari ini Hadi Tjahjanto masih menganggap lahan Jatikarya berstatus BMN.

Patut diduga Kemenhan dan Mabes TNI bersama Kementrian ATR/BPN yang dijabat mantan Panglima TNI semakin kokoh bersatu mempertahankan BMN. Mengeroyok warga ahli waris dengan kekuatan institusi.

Putusan PK MA pada akhirnya sekedar jadi putusan yang enggan dilaksanakan. Karena jika dilaksanakan akan membuat terkuaknya borok institusi yaitu :

1. Menyerobot lahan warga secara semena-mena

2. Mendaftarkan BMN di atas lahan yang belum berkekuatan hukum tetap.

3. Membangun perumahan di atas lahan konflik

4. Menghalangi proses pencairan ganti rugi jalan tol dengan cara menolak mengeluarkan surat pengantar sebagai syarat pencairan uang konsinyasi di PN Bekasi.

Berapa kerugian negara yang harus ditanggung akibat kesalahan dan kesewenang-wenangan institusi kepada warga masyarakat?

Sudah saatnya Presiden Jokowi turun tangan. Jika tidak maka judul di atas menjadi benar, bukan tanda tanya lagi.

***

Redaksi Suluhnusantaranews

banner 120x600

Tinggalkan Balasan