Bedakan Antara Keinginan Politik Dengan Gerakan Politik

Opini Politik

banner iklan 468x60

Saat ramai orang bicara khilafah, terutama dari kelompok Islam ekstrim yang melahirkan pro kontra. Mereka berkeinginan Indonesia menerapkan sistem khilafah, sementara pihak kontra mengatakan hal tersebut inkonstitusional karena konsensus bangsa sudah menetapkan NKRI harga mati bukan negara Islam. Adakah pelarangan terhadap wacana khilafah, belum ada. Sebatas keinginan dan pembahasan silahkan saja. Kecuali sudah berubah menjadi sebuah gerakan politik yang menyimpang.

“Baru sekadar keinginan saja, sudah dilarang,” begitu komentar kelompok ekstrim tadi. Sekali lagi tidak ada pelarangan terhadap sebuah wacana. Yang dilarang dan dibubarkan pemerintah adalah kelompok HTI dan FPI. Keduanya menolak mencantumkan Ideologi Pancasila sebagai syarat wajib pendirian perkumpulan resmi di Indonesia sesuai Undang-undang.

Jadi yang dilarang pemerintah bukan keinginan ideologi khilafahnya, tetapi penolakan kewajiban pada Pancasila sebagai dasar negara.

Namun begitu, kondisi yang sebaliknya juga bisa terjadi, seperti yang kini tengah santer menjadi pembicaraan yang diulang-ulang perihal 3 periode masa jabatan presiden. Yang kontra akan mengatakan, hal itu inkonstitusional, kok dibiarkan? Nah, menjadi lucu kan? Wacana khilafah dianggap inkonstitusional tidak mau, katanya sebatas “keinginan”.

Sama juga dengan Presiden 3 periode sebatas keinginan sekelompok orang, apa bedanya? Sekali lagi, sepanjang tidak berubah menjadi gerakan politik yang menabrak aturan perundangan (menyimpang). Meski begitu, isu 3 periode sudah dibantah tidak akan ada, hanya orang tidak bertanggung-jawab dan punya kepentingan sesat saja yang masih terus menggorengnya.

Keinginan politik itu dalam tatanan kenegaraan kita masih bisa diterima atau tidak dilarang.

Sama juga dengan keinginan belajar tentang komunisme, liberal-federal, kerajaan, negara Islam, ekstrim kanan maupun kiri, silahkan saja sebatas untuk dipelajari, diketahui ataupun wacana dalam diskusi-diskusi dan kajian akademik. Hal ini berbeda dengan masa rezim orde baru yang totaliter, artinya segala hal yang berbau politik dilarang dilakukan pembahasan. Semuanya akan dikendalikan oleh kekuasaan ketika itu yakni, Presiden Soeharto. Jangankan keinginan politik, bahkan baru mimpi politik saja sudah subversif.

Keinginan politik seperti apapun pada era reformasi ini diperbolehkan. Namun kemudian harus dilihat dan disesuaikan dengan aturan hukum yang ada. Sebuah keinginan politik tidak boleh dipaksakan ataupun melanggar hukum positif. Jika protes terhadap aturan tersebut, ya silahkan ajukan judicial review ke MK dan jika menang maka usulkan ke DPR melakukan pembaruan/perubahan UU. Sedangkan gerakan politik sesungguhnya juga diperbolehkan, tapi bukan gerakan politik yang menyimpang alias melanggar hukum.

Contoh jelasnya gerakan politik menyimpang adalah, melakukan kudeta, aksi anarkis, teroris dsb. Gerakan politik yang benar dan sesuai dengan UU adalah melakukan upaya melalui jalur parlemen. Atau membuat peraturan di tingkat pemerintahan dengan terlebih dahulu mengikuti pemilihan umum baik untuk tingkat presiden, gubernur, walikota/bupati hingga kepala desa. Katakan kelompok ekstrim kanan ingin khilafah, berjuang lah di DPR atau majukan calon nya sebagai capres.

Seperti strategi yang pernah dibahas Rizieq bahwa gerakan mereka melalui jalur konstitusional, yakni: memiliki kader-kader HTI yang duduk di DPR apapun partainya, lalu perlahan mulai mengubah melalui peraturan-peraturan yang diciptakan di DPR.

Itu legal, meski niatnya buruk.

Makanya upayakan memilih caleg yang menjamin NKRI harga mati. Inilah seninya politik kita, di sanalah kalau memang mau “bertempur” mengawal bangsa ini dari ancaman kehancuran.

Kembali pada keinginan politik. Boleh tidak saya sebagai rakyat (pribadi) berkeinginan menjadi caleg, atau menjagokan seseorang menjadi caleg? Sangat boleh, mengapa tidak? Namun ikuti prosedur yang mengaturnya, bahwa untuk menjadi caleg harus melalui partai politik. Partai lah yang kemudian akan mengajukan siapa-siapa menjadi caleg. Gagal menjadi caleg, kemudian saya marah dan memaksa? Ya tentu tidak boleh kan? Begitupun menjadi kepala eksekutif terutama seperti presiden, misalnya.

Boleh kan kita punya keinginan mendukung A, B dan C atau yang lainnya menjadi bakal capres? Tentu saja boleh, tapi kan saya tidak bisa memaksakan kehendak agar tokoh dukungan saya bisa menjadi capres nantinya? Itu inkonstitusional. UU Pemilu kita mengatur bahwa yang mengusung seseorang menjadi capres itu bukan rakyat secara langsung, melainkan melalui partai ataupun koalisi partai. Jika tokoh yang kita dukung gagal menjadi capres lalu bagaimana?

Mau protes? Ya harus mengganti UU nya dulu agar rakyat bisa mengusulkan langsung seseorang menjadi capres. Ini yang disebut gerakan politik legal. Jadi sekali lagi, agar kita bisa membedakan antara keinginan politik dengan gerakan politik. Gerakan politik legal tentu sangat dianjurkan. Tapi gerakan politik menyimpang atau ilegal, sudah pasti akan ditindak atau diproses hukum. Hal ini perlu diketahui agar rakyat paham hingga tidak terlalu kecewa jika keinginan politik tidak menjadi nyata.

 

 

Menarik mencermati apa yang dilakukan detikcom dalam menjaring dan menyaring capres potensial pilihan rakyat (program the matchmaker). Apa yang dilakukan detikcom diharapkan menjadi barometer bagi partai sebelum menentukan atau mengusung siapa capresnya. Meski diketahui pula bahwa hasil survey tidak selalu menunjukkan realita sesungguhnya. Metode survey juga terdapat yang disebut margin eror menandakan posisi suara bisa naik turun (range). Jadi ya paling sebatas pengetahuan juga agar ramai saja.

Pesta demokrasi kan memang harus ramai, dan menunjukkan antusias rakyat yang tinggi untuk terlibat. Rakyat, partai dan calon sendiri akan punya gambaran seperti apa sih kontestasi pilpres 2024 nanti? Rakyat juga lebih mengenal siapa-siapa saja calon yang kemungkinan akan bertarung nanti. Cek dan lihat profilnya, jika memang tertarik ya keep saja dulu, karena belum tentu tokoh itu menjadi capres. Jika sudah dipastikan secara legal formil menjadi capres oleh KPU, barulah membuat dukungan.

Atau, tidak perlu terlalu menunjukkan dukungan kan juga tidak apa-apa, yang pasti kita sudah punya pilihan. Pilihan tersebut juga boleh ditunjukkan atau diketahui orang lain, tapi juga bisa kita simpan sendiri (hak), namanya juga “rahasia” (luber). Eforia dukung mendukung yang berlebihan mungkin cukup saat periode 2014 hingga 2024 saja. Efeknya bisa membuat masyarakat kita terpolarisasi (bahkan yang tidak tahu apa-apa pun terimbas). Mari berpolitik sehat dan cerdas.

***

Awib

banner 120x600

Tinggalkan Balasan