APBN 2023 dengan peningkatan alokasi dana pendidikan sebesar 612 triliun rupiah, tidak serta merta menjadi prestasi menggembirakan bagi dunia pendidikan. Masih banyak kesenjangan infrastuktur sekolah yang luput dari perhatian pemerintah.
Di salah satu pelosok negeri, berlokasi di desa Bukambero Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya Propinsi Nusa Tenggara Timur, berdiri sebuah bangunan sekolahan dengan kondisi sangat memperihatinkan. Sekolah swasta milik Yayasan Tunas Timur bernama SD Angsol Galu Tana bukan hanya berisi siswa sekolah dasar. Kelas Sekolah Menengah Pertama dengan beberapa siswa menyatu dalam bangunan sekolahan berdinding bambu dan kayu dan tanah sebagai lantainya. Entah bagian atapnya masih layak menahan air dikala hujan atau tidak, yang pasti kegiatan belajar mengajar benar terjadi di tempat itu.
Pendidikan dasar yang menjadi hak setiap warga negara di Indonesia pada satu sisi terkait kondisi geografis sedang “bermasalah” dengan hak keadilan yang tertulis dalam undang-undang. Berdirinya sekolah swasta lengkap dengan guru dan muridnya bukan berarti tidak ada sekolah negeri.
Persoalan lokasi sekolah negeri yang terlalu jauh terjangkau kaki-kaki dan sepatu murid, memaksa mereka belajar di sekolah terdekat atas kebaikan yayasan swasta yang menyediakan fasilitis pendidikan dengan kondisi seadanya. Apakah kemudian tanggungjawab negara dalam kelayakan pendidikan hanya sebatas pada sekolah negeri?
Kondisi sekolah SD Angsol Galu Tana di desa Bukambero barangkali bisa dijadikan pengecualian.
Ketika pihak swasta melalui yayasan tidak mampu melayakkan penyediaan fasilitas pendidikan, tidak lantas kemudian dibiarkan dengan puluhan murid yang masih berharap ilmu di bangku sekolah: “Siapa suruh sekolah di yayasan swasta yang hanya bermodal niat tetapi tidak mampu membangun fasilitas” barangkali itu yang ada dalam pikiran para birokrat pendidikan di daerah yang serba terkendala akses.
Berbicara pendidikan adalah sebuah kebutuhan, bukan tentang pilihan. Kalau boleh memilih, anak-anak pasti enggan lahir dan tinggal di desa Bukambero yang minim sarana sekolahnya. Sementara tuntutan wajib belajar 9 tahun menjadi syarat masa depan yang tidak bisa ditawar jika tidak ingin kalah dalam persaingan peradaban.
Negara harus mengambil alih sekolah swasta yang kondisinya sudah memperihatinkan sebagai bentuk tanggungjawab pada pendidikan.
Jika pemerintah bisa menasionalisasi perusahaan swasta mengapa tidak bisa menasionalisasi sekolah swasta? Persoalan anggaran dengan alokasi 612 triliun tidak cukupkah untuk merealisasikan “political will” negara melaksanakan amanat undang-undang tentang mencerdaskan kehidupan bangsa?
Jika dana pendidikan sebesar itu masih kurang, berarti benar apa yang pernah disampaikan Presiden Jokowi : “Ketika masyarakat melakukan aksi demo, bukan persoalan issunya yang saya prihatinkan. Tetapi berapa puluh milyar biaya pengamanan dikeluarkan. Dana yang seharusnya bisa untuk membangun ratusan sekolah dan rumah sakit di pelosok, terbuang sia-sia”
Bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa tidak diukur dari berapa banyak gedung pencakar langit dibangun, berapa ratus mobil mewah berseliweran di jalanan, dan bukan pula berapa besar APBN yang meningkat tiap tahun.
Tetapi diukur dari seberapa banyak kemiskinan terentaskan dan seberapa besar negara mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
***
Redaksi Suluhnusantaranews – Dahono Prasetyo