Pemilu 2024 tinggal menyisakan waktu setahun dua bulan lagi. Kita semua sudah saling bersiap diri. Meski banyak juga yang bersikap apatis hingga skeptis. Masyarakat mungkin melihat pemilu hanya sebuah peristiwa 5 tahunan yang biasa saja. Namun dibalik itu, tidak diketahui banyak orang, perputaran uang di sana sangat besar. Ini juga yang kerap dibicarakan oleh kalangan akademisi maupun pengamat bahwa biaya politik kita tinggi.
Bukan saja karena sistem yang menyebabkan seperti itu tapi juga budaya politik kita yang masih serba transaksional. Ya tidak perlu jauh-jauh, kadang kita mau minta tolong orang saja tidak berani, karena takut dimintakan biaya jasa membantu. Budaya ini juga bisa dilacak kelahirannya dari kondisi kehidupan masyarakat banyak yang belum mapan pendapatan. Juga tindakan hukum aparat kita yang kurang bisa tegas, bahkan justru memanfaatkan.
Politik saat ini sedang naik daun (mungkin sejak satu dekade lalu, 2012 pilkada DKI yang dimenangkan Jokowi-Ahok). Hampir tidak ada orang yang tidak bicara politik di Indonesia, baik kota maupun desa. Terlebih di era kebebasan dan keterbukaan informasi sekarang ini, masyarakat semakin paham bagaimana praktik politik. Politisi menjadi populer layaknya artis ibukota. Begitupun pengamat dan influencer.
Karena kepopulerannya, harga politik semakin tinggi (karena mulai punya daya dan posisi tawar yang tinggi). Dulu masyarakat nyaris masa bodo dengan politik dan partai politik. Tapi sekarang berbeda. Bahkan kini, partai politik bisa dijadikan sebagai tempat cari makan. Tidak sebatas pengabdian lagi. Maka menjadi pendukung partai politik semakin semarak, dan banyak yang mau bergabung.
Partai politik yang memiliki kursi di Senayan juga mendapat dana partai dari negara. Mau tahu harganya? Per suara Rp. 1000. Sebagai contoh PDIP dia mendapatkan 27 juta suara. Maka jika dikali 1000, dana partai yang didapat sebesar 27 M, dan itu per tahun hingga perolehan kursi pada pemilu berikutnya. Cukup buat kampanye? Tidak juga, buktinya tiap gelaran pemilu masih dimintakan kepada kader yang nyaleg iuran, yang disebut dana gotong royong (itu di internal PDIP, begitupun di partai lain).
Besaran iuran bisa berbeda-beda antar partai. Silahkan dihitung sendiri jika itu baru satu partai dikalikan sekian jumlah partai yang menjadi peserta pemilu, berapa banyak uang yang akan berputar? Semakin banyak uang berputar di masyarakat semakin baik dari sisi pertumbuhan ekonomi bangsa. Karena seperti dikatakan tadi bahwa semua proses dan aktivitas politik mengeluarkan biaya. Terbanyak nantinya untuk logistik mulai dari pusat hingga pelosok desa.
Tidak heran banyak kelompok masyarakat yang berkeinginan mendirikan partai politik (parpol baru tumbuh bak jamur di musim hujan, tidak peduli masyarakat makin bingung menghafal partai). Mendirikan partai juga bukan perkara murah dan mudah. Di sana sudah diawali transaksi-transaksi, seperti: bikin kantor dan juga membayar orang agar mau jadi pengurus, meski sementara. Persyaratan mendirikan partai padahal tidak mudah.
Harus punya kantor kepengurusan lengkap dengan kepengurusan dan anggota di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. Namun dari sana pula partai bisa melakukan penggalangan dana, baik sumbernya dari sumbangan, iuran ataupun mahar untuk menjadi caleg ataupun cakada (calon kepala daerah). Lantas bagaimana partai-partai besar yang sudah mapan dalam menghadapi partai pendatang baru? Bagaimana mereka mensiasatinya?
Kebanyakan partai besar merasa tidak masalah. Dari hasil penelitian didapati bahwa masyarakat pemilih kita sudah semakin tetap. Artinya, kenaikan pengurangan, ataupun beralih pilihan, tidak terlalu signifikan angkanya. Kecuali, adanya suara tambahan baru dari pemilih pemula. Pertarungannya kini adalah memperebutkan swing voter di kalangan pemilih pemula. Berbeda dengan partai besar, bagi partai menengah ke bawah, justru menjadi perjuangan berat.
Sekaligus tantangan guna mempertahankan posisinya agar tidak digeser partai pendatang baru. Partai Ummat adalah satu-satunya yang bisa dianggap sebagai kuda hitam karena memiliki “identitas” tersendiri dan jelas. Targetnya adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ekstrim kanan (Islam radikal). Partai ini sedikit banyak akan beririsan dengan PKS yang dulunya cukup diandalkan kelompok Rizieq cs namun ternyata tidak bisa diandalkan oleh kelompok tersebut.
Atau bisa juga ini adalah strategi memperbanyak ruang yang dilakukan PKS dan partai Ummat, hingga nanti yang tidak tertampung di salah satu partai itu, akan ditampung partai satunya? Sebagian pemilih partai Ummat juga bisa berasal dari konstituen PAN. Begitupun dengan partai baru lainnya, Gelora, akan tarik menarik dengan PKS. Pertsrungan partai berbasis Islam diprediksi akan berlangsung ketat. Politik itu sifatnya dinamis, apapun bisa terjadi. Terlebih dengan budaya transaksional seperti sekarang ini.
Sebagai bangsa dengan mayoritas muslim terbesar dunia, maka tidak heran kelompok agama ini (Islam) akan menjadi rebutan bagi partai politik. Namun begitu, belajar dari masa orde baru, meski partai Islam hanya satu yakni PPP, ternyata tidak mudah juga PPP memenangkan suara pemilih muslim. Bahkan kerap berada di urutan ketiga setelah Golkar dan PDI. Pada era kekinian pun, pemilih dari kelompok muslim terbagi ke dalam 3 golongan, yakni: nasionalis, moderat dan konservatif.
Islam abangan banyak ke partai nasionalis, seperti PDIP. Islam moderat bisa sangat menyebar di mana saja. Sedangkan Islam konservatif ini lebih memilih PKS atau partai baru Ummat dan Masyumi. Pertarungan ideologi akan lebih mengemuka di Pemilu 2024 untuk meraih sebanyak mungkin suara pemilih. Selain itu juga faktor financial partai akan menjadi penting pada akhirnya. Sepertinya dua hal yang kontradiksi antara ideologi dengan financial, namun begitulah nyatanya.
***
Awib