Hutan adalah rumahnya, dan laut adalah halaman tempat mereka bermain dan bersenang.
Seperti sebuah tenda yang dibentangkan dengan batasnya adalah cakrawala, langit berhias matahari, bulan, bintang dengan sesekali awan tampak beriring adalah atapnya.
Layaknya sebuah kesengajaan Adikodrati, surga tropis bernama Nusantara itu dihias ribuan pulau dengan nyiur melambai pada setiap pantainya.
Dalam bentang khatulistiwa yang memberi akibat matahari bersinar selama 365 hari dalam satu tahun dengan ditimpali bingkai cincin api, kesuburan tanahnya tak lagi dapat disandingkan dengan daerah lain di manapun.
Bersama dengan hasrat pintar para penghuninya, lengkap sudah julukan surga yang tertinggal mendapatkan pijakannya.
Laut pun kini menjadi masuk akal sebagai halaman oleh sebab hadirnya tumbuhan kayu dalam jumlah tak terbatas di hutan tempat mereka lahir, tumbuh dan pulang. Membelah samudera dan lalu menembus batas cakrawala, mereka berkabar siapa dirinya.
Ketika mereka berhasrat ingin tahu kemana arah ingin dituju, langit memberi jawab. Bulan, bintang dan benda-benda langit memberinya tanda.
Langit menghadiahkan kelompok bintang Pari untuk menentukan titik selatan dan kelompok biduk bintang besar untuk titik di sebelah utara. Barat dan timur bukan lagi masalah.
Pun kala alam sedang tak ramah, sebuah bintang akan berjaga sebagai fenomena bernama scorpio. Segera dia akan muncul sebagai kabar “Sudah aman”. Dan maka orang-orang akan kembali melakukan pelayaran karena badai sudah reda.
Bagi pelaut Biak, bintang dengan nama Romang Wandi sebagai nama lain dari Scorpio, bermakna pemberitahuan bahwa badai telah berlalu.
Ketika suatu saat mereka ingin pergi lebih jauh lagi namun dengan arah dan jadwal yang pasti, awan yang berarak-arak itu akan memberitahu kapan hal itu dapat dilakukan.
“Bentangkan layarmu!!”, bisik lembut awan di bulan Desember. Dan itu tanda mereka dapat berlayar menuju ke arah Timur mencari tempat bernama Tiongkok. Hal itu akan terus berlaku hingga bulan Maret.
Dan pada Mei hingga Juli, kembali angin berbisik agar layar segera dibentangkan manakala mereka ingin pulang setelah lama bepergian di Timur.
Demikian pula sebaliknya bila mereka ingin pergi ke India atau tempat yang lebih jauh lagi ke arah Barat, di Mesir, di Laut Tengah misalnya. Bulan Mei hingga Juli telah mereka catat sebagai waktu paling tepat. Semesta tak pernah ingkar.
Membawa barang untuk ditukar dengan barang lain yang tak dimilikinya, mereka memperkenalkan rempah-rempah sebagai anugerah alam atas panenan dari hutan tempat mereka tinggal.
Rempah sebagai obat, pengawet hingga kebutuhan akan cita rasa mereka perkenalkan. Dunia pun bersorak gembira.
Konon kabar itu terdengar sampai jauh di sebelah barat hingga melintas benua dan menyeberangi samudra. Dalam dokumen Yunani Periplus Maris Erythraei, bangsa itu memanggil kita dengan nama Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa disebut.
Mereka menyebut nama sebuah tempat di mana kapal-kapal besar berlayar ke arah timur menuju ke suatu tempat bernama Chryse. Itu nama lain dari Suwarnadwipa atau Sumatra yang berarti emas.
Pada kabar yang lebih tua lagi, Ptolemeus menyebut nama Barousae. Pada abad 1 M Ptolomeus menyebut nama Barousae sebagai identik nama pelabuhan Barus di Sumatera Utara.
Bila kabar itu telah pernah sampai pada ujung sangat barat dari negeri kita, kabar yang sama juga telah sampai dan terdengar dari timur.
Seorang penulis buku dari Tiongkok bernama Wan Chen pada abad 2 telah mendeskripsikan hadirnya sebuah kapal yang mampu membawa 600-700 orang dengan lebih dari 1000 ton barang dan berasal dari Kun lun po.
Dan sebutan Kun lun po atau orang orang berkulit hitam dari selatan adalah cara mereka membuat deskripsi tentang para pedagang Nusantara.
Dari bumi Nusantara, oleh para penghuninya, rempah dipanen, dibawa dan diedarkan. Dengan menggunakan perahu-perahu kecil dan kemudian kapal dengan ukuran besar pada zamannya, rempah didistribusikan hingga sudut-sudut bumi.
Dari pelabuhan besar Barus, epik sebuah perjalanan membelah samudra dimulai.
Ditandai dengan awan yang berbisik tentang datangnya angin Timur, segera saja jangkar diangkat dan layar pun mengembang. Seperti awan berarak, dua hingga 3 layar saling beradu dalam kibar sebaris berwarna putih itu terlihat mulai bergerak. Angin membawa mereka.
Lankadeepa atau “Tanah Bersinar”, yang tak lain adalah nama kuno negara Sri Lanka mereka tuju.
Kelak sebagian dari para penumpang akan berpisah di pelabuhan itu. Ada yang menuju utara ke Chennai, Kolkata dan Chittagong untuk bergabung dengan rombongan pedagang lainnya yang hendak pergi ke New Delhi, Tajikistan hingga mencapai kelompok pedagang mancanegara lainnya di Jalur
Sutera.
Lalu sebagian dari mereka berangkat lagi menyusur kota-kota pelabuhan India di sebelah barat di Cochin dan Mumbai demi menurunkan sebagian dari barang dagangannya.
Pada abad ke-10 sampai ke-30 SM, India dengan pelabuhan-pelabuhan utamanya dikabarkan sudah terkenal sebagai “negara gudang”, negara yang mampu mengumpulkan semua komoditas pokok dari mancanegara.
Tak sulit bagi India untuk mengklaim atau menyatakan bahwa dirinyalah sebagai negara yang menjadi induk atau ibu bagi komoditas-komoditas unggulan terutama rempah – rempah yang terkumpul di pelabuhan-pelabuhannya.
Melalui jalur darat, menggunakan banyak karavan, barang-barang itu kemudian dibawa ke kota-kota di Pakistan, Bangladesh hingga menembus Persia. Mereka sering mendaku sebagai produk-produk asli atau genuine (native) dari negerinya masing-masing (di India).
Dan maka, tak terlalu mengherankan bila banyak bangsa penerima menyangka dari India lah rempah-rempah itu berasal.
Sementara itu, tak berhenti di sana, para pelaut tangguh Nusantara melanjutkan pelayaran samuderanya. Menyeberangi Laut Arab menuju Teluk Aden dan menyusuri Laut Merah.
Mereka mengantar bermacam rempah itu ke Yaman dan Oman sebelum mencapai Ethiopia, Sudan dan kelak akan berakhir di Teluk Suez di Mesir.
Dengan apakah mereka melanjutkan perjalanan demi mengantar rempah tersebut hingga ke Alexandria dan bahkan Yunani di laut Mediterania?
Bahwa kesaksian Ptolomeus maupun dokumen Yunani Periplus Maris Erythrae memang tidak bicara kapal dari Nusantara namun pelabuhan, tapi TIDAK dengan Herodotus penulis buku The Histories dari Yunani abad 5 SM.
Dalam surat kepada sahabatnya di Cypria, dia bercerita tentang orang-orang dari Selatan yang dalam pikirannya terlihat seperti kerasukan “Setan Laut”. Mereka datang, lalu menghilang, dan lalu datang lagi selewat 5 tahun kemudian. Dia bicara tentang kapal dan para pelautnya.
“Mereka datang seolah didatangkan begitu saja oleh badai yang ganas.” tulisnya.
Bila benar catatan Herodotus itu, bukan melalui terusan Suez yang baru dibangun 1859 dan selesai pada 1869 mereka lalui demi menuju Yunani atau Alexandria. Mereka berbalik ke selatan ke laut Arab dan masuk lagi ke Samudra Hindia menuju Afrika Selatan.
Di sana, pada ujung tanduk Afrika Selatan epik perjalanan dengan ombak setinggi gunung akan kembali mereka temui. Berbelok ke utara, mereka bercanda dengan gelombang ganas Samudera Atlantik di sepanjang pantai Barat Afrika.
Dan pada akhirnya, sebelum mereka menyentuh batas benua Afrika dan Eropa, kapal berbelok ke timur melalui Selat Gibraltar. Pada sisi sebelah kiri kapal, akan ada tampak orang-orang Spanyol memberi hormat, dan pada sebelah kanan orang Maroko memberi salam dalam takjub. Kapal pun masuk ke Laut Mediterania.
“Apakah itu TIDAK terlalu mustahil telah dilakukan manusia Nusantara pada abad 5 SM?”
Dalam ketidak mengertiannya, Herodotus tak lagi mampu menemukan kalimat yang tepat bagi caranya membuat deskripsi.
“Pakaian mereka sederhana, dengan kapal seadanya, yang melewati banyak lautan. Mereka seperti pelaut2 yang menunggangi gelombang dan mengarahkan jalannya.” tulis Herodotus dalam buku The Histories-nya.
Seperti setan laut, seperti selalu tiba-tiba muncul dari kemustahilan samudra, selalu saja orang-orang dari Nusantara itu kembali terlihat dalam rentang 5 tahunan.
Dari tempat di mana nyiur tak pernah lelah melambai, para penghuninya berkabar bangga akan REMPAH, hasrat dan cinta sekaligus pengetahuan dan miliknya yang berharga.
RAHAYU
Karto Bugel