Politisasi SARA Dan Politik Identitas Itu Tidak Ada Bedanya

Opini Akar Rumput

banner iklan 468x60

Adolf Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman oleh Presiden Republik Weimar, Paul von Hindenburg, pada 30 Januari 1933. Hitler meyakini bahwa orang-orang ‘Arya’ dari kawasan Nordik merupakan ras unggulan (murni), untuk itu dia sangat membenci warga keturunan terlebih seorang Yahudi. Bung Karno (BK) mengatakan Deutschland Uber Alles sebuah gerakan ultranasionalis di Jerman ketika Adolf Hilter berkuasa adalah nasionalisme yang sempit.

Sebab, Deutschland Uber Alles berarti Jerman berada di atas segala-galanya. Nasionalisme Indonesia berbeda, nasionalisme kita itu justru diikat oleh keanekaragaman latar budaya, suku, agama, ras dan antar golongan. Bayangkan jika saat itu BK mengusung politik identitas seperti Hitler. Bisa saja BK menyuarakan Islam, toh mayoritas. Bisa pula menyuarakan suku Jawa, yang juga dominan di Republik ini.

Tapi tidak. BK lebih suka mengusung semangat nasionalisme kebangsaan, bukan kesukuan, keagamaan, ataupun golongan. BK sangat paham bahwa bangsa Indonesia yang plural dan heterogen, jadi tidak mungkin dia menggunakan politik identitas, atau mempolitisasi unsur-unsur yang beragam tadi. Justru identitas-identitas itu harus dijaga dirawat dan diakomodir agar tercipta harmonisasi, saling toleran dan menghargai seperti bunyi semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Identitas yang beragam tadi dianggap BK sebagai modal utama untuk mengikat dalam persatuan. Setiap identitas adalah bunga yang tumbuh beragam di Tamansari Nusantara, begitu kira-kira menukil pidato BK. Lantas apa tidak boleh menyuarakan atau memperjuangkan aspirasi identitas tersebut? Tentu saja boleh dan harus. Karena, terutama yang menjaga identitas tersebut adalah kelompok orang yang berada dalam komunitas identitas tadi.

Contoh: Hukum Adat di Masyarakat Adat Kalimantan oleh masyarakat Dayak, atau, Menjaga Ukuwah Islamiyah di kalangan kaum muslim. Identitas akan disuarakan oleh kelompok penekan yang biasa disebut presure group. Mengapa? Karena mereka bicara untuk mereka oleh mereka dan dari mereka di dalam komunitas identitasnya sendiri. Hal ini semata untuk menjaga eksistensi atau keberadaan agar tidak musnah.

Namun sekali lagi, jika itu bicara dalam skup komunitas. Jika bicara dalam konteks partai (skup nasional), terlebih sebuah bangsa (skup internasional/dunia) tentu tidak dimungkinkan, karena tadi. Bangsa ini sudah berketetapan dan konsensus menyatakan sebagai negara kesatuan berbentuk republik. Kecuali, konstitusi sudah diubah menjadi Negara Islam, Negara Jawa, Negara Pribumi atau negara dengan identitas SARA lainnya?

Partai pun demikian. Dalam Teori Ilmu Politik, partai adalah kumpulan orang atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Tujuan yang sama tidak berarti sama identitas SARA nya. Tapi misalkan menggunakan identitas profesi dan yang lainnya diperbolehkan, seperti Partai Buruh, Partai Perempuan dsb. Lantas mengapa identitas SARA tidak diperbolehkan? Hal ini disebabkan, pertama karena karakter bangsa yang berbeda-beda tadi;

Kedua, sudah menjadi kesepakatan sejak adanya Sumpah Pemuda tahun 1928, bahwa bangsa ini berbeda-beda suku bangsa yang tidak ada yang boleh mengaku lebih baik daripada yang lainnya, dan; Ketiga, karena identitas SARA sangat rentan sekali memicu perpecahan. Untuk itu UU Politik kita pun melarang mempolitisasi SARA ataupun menggunakan politik identitas SARA.

Regulasi penggunaan isu SARA diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba. Dikhawatirkan, akan ada semacam ego atau sentimen identitas tadi. Mengaku lebih baik dan benar dan menyalahkan identitas lainnya.

Hingga pada akhirnya terjadi polarisasi di masyarakat yang itu akan menyebabkan hancurnya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa. Yang ada dalam keyakinannya adalah kebenaran identitas yang disandangnya. Sebenarnya, menurut saya, ada lagi politik identitas yang berbahaya selain SARA, yakni ideologi. Hanya saja, bangsa kita sudah berketetapan bahwa Pancasila harga mati dijadikan sebagai ideologi bangsa.

Jadi memang jarang terjadi perdebatan karenanya. Namun begitu, ideologi politik terkadang tidak terlihat tapi berasa. Katakan saja gaya hidup hedonis, konsumerisme, eksploitasi buruh, hubungan bebas, liberal dsb. Atau pun bahaya yang dikenal laten komunisme, serta kini mulai berkembang yaitu Radikalisme (Islam fundamentalis, ekstrim kanan). Pengajaran ideologi asing tidak begitu terlihat terang-terangan namun terus menyeruak di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Identitas politik jauh lebih berbahaya karena biasanya tidak terlalu terlihat menonjol. Terlebih, ideologi belum bisa dikategorikan sebuah identitas secara langsung. Berbeda dengan SARA tadi. Dengan itu, politisasi SARA plus ideologi ataupun politik identitas akan menjadi masalah yang patut diwaspadai terutama menjelang pemilu (selain juga politik transaksi, money politic dsb). Pemilu itu pesta demokrasi bukan untuk saling menyerang.

Mari saling jaga keutuhan bangsa demi generasi ke depan.

***

Awib

banner 120x600

Tinggalkan Balasan