Menarik jika kita membaca hasil survei Kompas yang terbaru. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa masyarakat pemilih memiliki kecenderungan rasa jenuh dengan “tontonan” politik yang berlebih. Semakin banyak melakukan manuver politik maka semakin mendapat sentimen negatif dari masyarakat.
Hal ini menurut Kompas terjadi kepada bakal capres Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan (NasDem, PKS dan Demokrat). Elektabilitas Anies mengalami penurunan signifikan (meski dianggap fluktuatif dan efek margin eror yang mencapai 2-3%). Sementara Ganjar Pranowo anteng di posisi pertama, disusul Prabowo Subianto.
Ketika ditanya, mengapa Anies mengalami penurunan, disebutkan Kompas bahwa Anies beserta Tim terlalu sering muncul di media melalui safari politiknya. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan sentimen negatif dari pemilih. Mungkin di awal bisa menjadi sebuah eforia karena Anies dianggap sebagai calon alternatif bagi perubahan.
Bahkan mengklaim diri sebagai antitesa pemerintah saat ini (Jokowi). Dengan brainded seperti itu, wajar pemilih yang tidak senang kepada pemerintah akan melirik dan berharap banyak kepada Anies. Hal ini bisa diketahui para pemilih Anies, mayoritas tidak puas atas kinerja Jokowi, sekitar 52%. Sebenarnya sih tidak terlalu banyak.
Dan dipastikan, hanya pemilih Anies yang mayoritas tidak menyukai kinerja pemerintah. Sementara pemilih calon lain semuanya mayoritas puas dengan kinerja pemerintah. Bahkan pemilih AHY dan juga Ridwan Kamil. Di sini terlihat Anies dan Tim memang menyasar masyarakat pemilih yang tidak menyukai pemerintah.
Ditambah swing voters yang meski puas dengan pemerintah tapi inginkan perubahan. Namun lama kelamaan, kondisi mengalami perubahan seiring manuver yang dilakukan Anies. Sebenarnya hal ini pun sudah saya sempat tuliskan (prediksi) terkait Anies yang kerap muncul di pemberitaan media.
Terlebih lagi banyaknya kontroversi yang dimunculkan dari manuver tersebut seperti penggunaan masjid sebagai tempat sosialisasi. Pemberian gelar nama Yohannes, utang kampanye Pilgub DKI 2017, perjanjian politik, dsb. Masyarakat cenderung jenuh dengan hingar bingar politik menjelang pemilu tersebut.
Terlebih sekarang ini belum lagi memasuki masa tahapan pemilu atau belum ada agenda kampanye dan artinya juga Anies belum menjadi capres baru bakal capres. Sentimen negatif yang memperlihatkan ambisi berkuasa ini yang mengurangi elektabilitas Anies. Sementara itu jago lainnya justru mendapat kenaikan suara karena masyarakat pemilih merasa simpati sang jago tidak terlalu over dalam bermanuver.
Dalam survey Kompas pun terselip analisa mengapa PDIP bisa kokoh berada di posisi teratas, menurut penjelasan Tim Kompas, selain karena pemilih solid (yang tetap dijaga suaranya oleh PDIP) juga disebabkan PDIP satu-satu nya Partai yang dianggap “senyap” tidak terlalu larut dalam gerakan politik menjelang pemilu.
Ini salah satu keberhasilan Megawati, selaku Ketum, menginstruksikan baik pengurus, kader dan simpatisannya agar tetap fokus bekerja merealisasikan program partai kepada rakyat. Dalam budaya politik di PDIP hal itu diistilahkan dengan “kerja ideologis”. Yang dimaksud kerja ideologis adalah turun ke rakyat untuk mengenal rakyatnya.
Lalu mendalami masalahnya, membangun harapannya, dan lalu berjuang bersama mencari jalan keluar mengatasi masalah. Inilah salah satu strategi PDIP dalam “menjaga” dan merawat konstituennya. Terutama kader dari kalangan aktivis, meski tidak berhasil menjadi caleg atau cakada, mereka tetap melakukan pengorganisasian ke bawah.
Maka Megawati kerap menyampaikan agar seluruh pengurus, kader dan simpatisan untuk fokus kepada kerja. Bukan membuat gaduh soal pemilu. Termasuk terkait penetapan capres, Megawati mengatakan, “Ini urusan gue…” Sikap ini, suka tidak suka, turut mendongkrak elektabilitas PDIP. Megawati pun dianggap sebagai Ketum Partai yang paling populer.
Cara ini, silahkan saja ditiru oleh tim Anies atau siapapun. Bahwa semakin bersuara menunjukkan dirinya soal pemilu, maka semakin masyarakat pemilih tidak simpatik. Terlebih saat ini kondisi perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Krisis pangan yang menggelobal mulai berdampak ke dalam negeri kita. Masyarakat lebih suka ada aksi nyata partai atau capres yang bisa membantu mereka.
***
Awib