Ledakan Industri Petasan Rumahan Di Blitar, Mempertimbangkan Tradisi Dan Resiko

Lintas Peristiwa

banner iklan 468x60

Insiden ledakan petasan rumahan di Blitar yang terjadi pada pukul 22.30 WIB, Minggu (19/2) malam di dusun Dusun Tegalrejo, Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Jawa timur. Daftar panjang ketidaktaatannya warga pada aturan pelarangan pembuatan petasan bertambah.

Empat orang korban tewas secara mengenaskan adalah satu keluarga di rumah pusat lokasi ledakan. Sedangkan 23 orang lainnya terluka merupakan tetangga terdekat yang juga memporak-porandakan 33 rumah lain efek dari dahsyatnya ledakan.

Di Indonesia, pembuatan dan penggunaan petasan sebetulnya sudah diatur dalam beberapa peraturan. Diantaranya Undang-Undang Bunga Api Tahun 1932; Lembaran Negara No 41 Tahun 1940 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api Tahun 1939 pasal 2; Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951; pasal 359 KUHP: pasal 188 KUHP serta Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2017 tentang Perijinan Pengamanan, Pengawasan, dan Pengendalian Bahan Peledak Komersial.

Hasil penyelidikan dan olah TKP mendapatkan fakta bahwa rumah tersebut telah dijadikan tempat industri pembuatan petasan. Bukan sekedar pengguna petasan yang menyimpannya untuk dipakai sendiri.

Khoirul Anam, Kepala Desa Karangbendo Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar saat diminta keterangan oleh media membenarkan bahwa rumah tersebut merupakan industri petasan rumahan yang sudah lama berdiri.

“Setiap jelang ramadhan rumah tersebut rutin memproduksi petasan. karena keterbatasan jangkauan aparat sehingga belum pernah ada penertiban di lokasi tersebut” jelas Khoirul Anam

Menyimak pernyataan Kepala Desa tersebut, Dahono Prasetyo sebagai salah seorang pengamat sosial mengungkapkan kegeramannya kepada awak media Suluhnusantaranews.

“Kades sudah tahu kalau tiap tahun rumah tersebut membuat petasan. Peraturan larangan sudah ada tetapi mengapa harus menunggu aparat melakukan penggerebekan. Bukankah Kepala desa juga termasuk aparat juga. Kades tidak bisa semudah itu “cuci tangan” persoalan warganya. Atau memang sudah menjadi kebiasaan “tahu sama tahu” atas pelanggaran yang terjadi?” jelas Dahono sekaligus ungkapan keprihatinannya atas kejadian tersebut.

Kapolda Jawa Timur, Irjen Toni Hermanto dalam keterangan resmi kepada media menyatakan akan mengusut tuntas kasus tersebut. Termasuk menyelidiki pemasok atau asal-usul bahan baku atau bubuk mesiu yang didapatkan pelaku yang sekaligus menjadi korban.

“Pernyataan Kapolda tersebut kita apresiasi sebesar-besarnya, namun bagaimana dengan pihak-pihak yang mengetahui terjadi industri pembuatan petasan selama bertahun-tahun, tetapi diam saja atau pura-pura tidak tahu. Pihak-pihak yang diam saja, padahal tahu bahwa ada resiko besar jika itu terus terjadi. Kapolda seharusnya juga memanggil aparat desa setempat, Kades, Kadus, Ketua RT/RW untuk mendalami kasus agar pembiaran pelanggaran peraturan ini tidak terjadi lagi” lanjut Dahono.

Industri petasan rumahan tidak hanya ada di Blitar. Di beberapa daerah lain kemungkinan juga dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Keuntungan besar usaha petasan pada bulan Ramadhan yang sudah menjadi tradisi, membuat seseorang mengabaikan resikonya.

Petasan menjadi tradisi di berbagai daerah menjelang Ramadhan. Ancaman hukuman bagi produsen petasan rumahan juga tidak membuat sebagian mereka jera. Dibutuhkan sosialisasi dan pendekatan persuasif dari aparat setempat kepada mereka secara intensif, agar kejadian yang merugikan dan mengancam nyawa orang banyak tidak terjadi lagi.
***
Redaksi Suluhnusantaranews (Erlangga Bhumi)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan