Dulu di jaman orde baru sedikit sekali LSM yang berani bicara dan memiliki program kerja politik (pendidikan politik, advokasi kasus buruh, tani, nelayan, HAM, dll). Sempat menjadi perdebatan pada waktu itu antara yang berpandangan bahwa permasalahannya ada pada sistem untuk itu harus berhadapan langsung melawan negara (struktural), dengan yang berpandangan bahwa masalah ada pada masyarakat yang cenderung malas, bodoh dan non-akses (kultural).
Sekitar 30 tahun lalu, mengapa LSM, ormas juga GM (gerakan mahasiswa) tidak tertarik bahkan menjadi phobia politik, alasannya, selain takut dicap OTB (organisasi tanpa bentuk) yang bisa di-subversif-kan, juga karena memang bukan trend nya (tidak ada funding yang mau mendanai). Mereka mengatakan sebagai langkah konyol berhadap-hadapan langsung dengan aparat yang siap dengan sangkur, bedil dan pentungan, hingga kemudian muncul reformasi.
Mereka yang sifat gerakannya progresif melakukan kordinasi dan konsolidasi dengan cara gerilya, sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah sekretariat atau lokasi kumpulnya. Setiap unsur kekuatan pada waktu itu coba dirangkul, disadarkan kemudian digerakkan (LSM, mahasiswa, ormas, akademisi dan rakyat). Bagi yang belum mau bergabung diberi lebel banci, ada juga istilah: selemah-lemahnya iman adalah berdiam diri.
Pergulatan hingga mencapai suatu titik kondusif (memadukan antara kondisi obyektif/eksternal dengan kondisi subyektif/internal gerakan) selama hampir 10 tahun intensif bukanlah tanpa harga. Nilai kuliah jeblok, cuti bahkan putus kuliah, dijauhi saudara dan lingkungan, merupakan harga murah yang harus dibayar. Yang agak mahal itu jika dipopor, ditendang dan diinjak dengan sepatu lars. Belum lagi ada gas air mata ditangkap ke Garnizun disiksa dan berujung ke rumah sakit.
Semua itu potensi yang harus diterima kaum pemberontak saat berhadap-hadapan langsung dengan aparat. Paling mahal jika diculik dan dibunuh. Strategi sedikit diubah dengan mulai melibatkan ahli-ahli lobi di tataran elite (mereka tokoh akademisi, budayawan dan rohaniawan), selain mereka punya akses ke “atas” juga mereka umumnya masih didengarkan dan pastinya memiliki pengaruh ke bawah. Catatannya, tokoh tersebut bukannya menawarkan diri atau turut berjuang dari awal.
Melainkan mereka dengan sengaja “diangkat” dan disiapkan “panggungnya” oleh pelaku gerakan. Mereka ditokohkan (sekarang saja pada mengaku-ngaku sebagai pelopor dsb, termasuk seperti Amien Rais). Beberapa waktu menjelang “titik kondusif”, hampir semua elemen masyarakat bergerak secara politik dan berteriak-teriak perubahan. Singkatnya strategi gerakan itu berhasil melahirkan apa yg disebut reformasi.
Suharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden pada 21 Mei 1998, padahal di bulan Maret baru saja dilantik MPR. Euforia era kebebasan pun muncul hingga hampir-hampir kebablasan (bahkan mungkin memang sudah kebablasan). Skenario “perubahan” diambil alih oleh tokoh-tokoh elite politik, dan pelaku gerakan tidak mampu berbuat. (entah karena masih terharu karena Suharto turun, atau memang tidak paham cara kerja transisi politik kekuasaan saat itu, kalah jam terbang).
Muncul kritikan sekian tahun reformasi belum menghasilkan apa2 selain perubahan derajat hidup dan kehidupan (itupun dianggap masih enak zaman orba karena harga lebih murah, tentu saja, dan harga di era Orla jauh lebih murah-murah). Dulu rekan gerakan yang belum jadi apa-apa kini menjadi pejabat penting. Dulu yang selalu makan di angkringan sekarang sarapan dari hotel ke hotel, sementara para pelaku gerakan yang betul-betul bergerak dari awal masih tetap terlunta-lunta.
Bahkan sebagian belum kembali atau tidak ditemukan jasadnya (hampir sama dengan nasib rakyat kebanyakan). Eksponen gerakan seperti mahasiswa, LSM dan ormas kembali seperti disorientasi, bingung tidak tahu mau melakukan apa? (karena semua aktivitas yg dulu dilakukan, kini sudah diambil alih parpol). Memasuki era kemandirian dan prakarsa di masa pemerintahan Jokowi, masyarakat memiliki ekspektasi tinggi meningkatkan kesejahteraan.
Alih-alih pemerintah bisa bekerja untuk rakyat, issue kekuasaan ternyata masih eksis dan menjadi perebutan elite politik. Seperti apa modus operandinya? Melalui “kebisingan” politik yang diharapkan lama-kelamaan bikin masyarakat jenuh dan muak, kemudian atas nama kedaulatan rakyat meminta dihentikan “kebisingan” itu. Setiap apapun, bahkan saat tidak ada masalah (atau bisa dibaca tidak seharusnya menjadi masalah) sebisa mungkin dibuat bising.
Mulai dari soal koalisi di parlemen (perwakilan rakyat atau perwakilan kepentingan koalisi?), susduk pimpinan dewan, pemilihan langsung tidak langsung, pengangkatan kapolri, konflik KPK-Polri, dualisme kepengurusan parpol, sampai urusan menteri bertato dan perokok (dulu di awal kabinet pertama Jokowi ada Susi Pujiastuti). Pertanyaannya, siapa yang berkepentingan dengan segala “kebisingan” ini? Siapa yang bermain?
Jika kembali kepada cerita soal LSM di awal, kini hampir tidak ada LSM yang tidak bicara politik bahkan ikut-ikutan berpolitik (meski sebatas level rendah2an, senggol sana sini hanya untuk mendapat jabatan dan dana). Artikel ini hanya ulasan yang mungkin saja tidak berbobot. Pesan tulisan ini lebih ditujukan kepada LSM dan semua pelaku gerakan saat ini. Coba lakukan refleksi, revitalisasi, reorientasi, re-evaluasi, re-konsolidasi atau apapun lah namanya.
Pertanyaan yang harus dijawab: apakah masalah bangsa ini, siapa musuhnya, dan apa solusi juga metode jalan keluarnya? Jaman sudah berubah, masih banyak PR yang harus dikerjakan selain hanya sibuk mengurus issue “politik” yang sesungguhnya tidak tahu milik siapa? Kemana gerakan masyarakat sipil sejatinya? Salam juang selalu, semoga bisa menjadi bahan renungan bersama.