BIG MAL melakukan pembuangan limbah secara semena-mena di sepanjang Sungai Mahakam Kecamatan Sungai Kujang Kota Samarinda Kalimantan Timur. Patut diduga terjadi kolusi dengan Pemerintah Kota Samarinda Kalimantan Timur.
Hal tersebut terungkap saat saat HRD Bing Mall memberikan penjelasan lewat telepon seluler kepada awak media Suluhnusantaranews yang sedang melakukan investigasi terkait pencemaran sungai Mahakam. Bahwa terkait pembuangan limbah ke sungai Mahakam tersebut sudah ada kerja sama dengan oknum di Pemerintahan Kota Samarinda.
Pusat perbelanjaan terbesar di kota Samarinda tersebut dibangun hanya berjarak beberapa puluh meter dari sungai Mahakam. Menjanjikan pesona belanja di pinggir sungai Mahakam. Namun tidak banyak yang tahu bahwa sejumlah pipa dan saluran pembuangan limbah tak terlihat langsung mengarah ke sungai Mahakam, tanpa pernah diolah terlebih dahulu.
Pembuangan Limbah tersebut mengindikasikan pengelola BIG MALL tidak menghiraukan undang-undang yang kemudian patut diduga berkolusi dengan oknum di Pemerintah Kota Samarinda Kalimantan Timur.
UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) mengatur sacara khusus tentang Pidana di dalam Bab tentang Ketentuan Pidana dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU. Dimana dalam ketentuan pidanannya terbagi atas dua delik, yaitu Delik Formil dan Delik Materiil.
Delik materiil bisa diihat pada Pasal 97 Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UU PPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
- Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
- Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UU PPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:
Pasal 100
Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 107
Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.
Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti:
Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.10.000.000.000.
Pasal 99
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000
Dan dalam penegakan hukum pidana lingkungan, korporasi dapat dijadikan sebagai subyek hukum pidana karena UU PPLH sudah mengaturnya secara khusus didalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120 UU PPLH.
Selain itu dalam UU PPLH terdapat sebuah asas subsidiaritas dimana asas ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak pidana tertentu. Dalam hukum pidana dikenal sebagai asas subsidaritas atau “ultima rasio principle” atau asas “ultimum remedium”.
Asas ini bisa kita lihat di dalam penjelasan umum angka 6 UU PPLH yang meyatakan:
“Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum disamping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.”
Yang kemudian pada Pasal 100 UU PPLH yang menyatakan:
Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana,dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Dari penjelasan diatas maka diketahui bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas subsidaritas yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Dalam kasus posisi di atas maka ketentuan pasal yang dikenakan adalah Pasal 98 & Pasal 100 UU PPLH. Dimana apabila perusahaan yang melakukan pembuangan limbah hasil produksi ke sungai yang menyebabkan terlampuinya ambang baku mutu dari sungai tersebut. Ketentuan pidana dalam Pasal 100 UU PPLH dapat di terapkan apabila telah dilakukan upaya hukum administratif atau perdata kepada perusahaan yang telah memiliki izin pengelolaan limbah namun tetap membuang limbah tersebut ke sungai yang menyebabkan terlampuinya ambang baku mutu dari sungai tersebut.
PENUTUP :
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
Perusahaan wajib bertanggungjawab atas terjadinya pencemaran lingkungan ke sungai mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan, sehingga mutu kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dapat dikenakan sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 54 ayat (1) UU PPLH yang menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup”;
Secara Hukum Administratif seharusnya seharusnya adanya teguran terhadap kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki Izin Pengelolaan Limbah dan melakukan penyalahgunaan izin tersebut dapat dikenakan teguran terkait dengan limbah yang dihasilkannya.
Secara Hukum Pidana perusahaan-perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan ke sungai dapat dikenakan Pasal 98 UU PPLH karena dengan perbuatan yang dilakukannya mengakibatkan terlampauinya ambang baku mutu sungai. Selain dikenakan Pasal 98, juga dapat dikenakan Pasal 100 apabila perusahaan telah terlebih dahulu mendapatan sanksi administratif dari pemerintah.
Sempat ramai diberitakan berbagai media yang mengungkap fakta mengejutkan. Sungai Mahakam telah tercemar limbah micro plastik dalam jumlah yang sudah di bawah normal. Akibatnya warga Samarinda khususnya mengalami kesulitan mendapatkan air dengan kualitas layak untuk dikonsumsi.
Pencemaran limbah yang dilakukan oleh Big Mall apabila dibiarkan akan menjadi preseden buruk penegakan hukum. Big Mall bukan satu-satunya bahkan hanya sebagian kecil. Namun pembiaran tersebut akan diikuti oleh pengusaha lain karena merasa telah aman berkolusi dengan oknum di Pemerintah Daerah Kota Samarinda.
***
Reporter Suluhnusantaranews Samasinda (HendiGea)