Bekasi, Suluhnusantaranews. Tarik ulur pencairan uang ganti rugi pembebasan lahan warga Jatikarya terdampak tol Cimanggis-Cibitung yang dikonsinyasikan (dititipkan) di Pengadilan Negeri Kota Bekasi bulan ini memasuki tahun ke 7.
Sejak penetapan Konsinyasi di Pengadilan Negeri Bekasi No.04/Pdt.P.Cons/2016/PN Bks, hingga pergantian 3 kali ketua PN Bekasi, warga Jatikarya masih harus bersabar. Hak mereka diabaikan selama bertahun-tahun.
Keputusan eksekusi pencairan mutlak ada di tangan Ketua PN Bekasi. Butuh ketegasan institusi peradilan yang tidak terpengaruh kekuatan apapun yang membayangi konflik lahan Jatikarya selama puluhan tahun.
Ketua PN Bekasi Surachmat SH, MH yang sudah berkomitmen melaksanakan proses mencairkan dana tersebut, disinyalir menghadapi tekanan hebat dari mafia tanah. Sebesar apa kekuatan mafia tanah sehingga mampu mempengaruhi keputusan seorang Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri?
Bahwa konflik lahan Jatikarya antara warga ahli waris dengan institusi TNI sudah menjadi kasus nasional sejak tahun 2000. Warga ahli waris memenangkan putusan PK MA tahun 2008, dilanjut PK II MA tahun 2018.
Lahan seluas kurang lebih 48 hektar sekarang menjadi perumahan Perwira Tinggi (PATI) Mabes TNI, sebagian lagi menjadi jalan tol yang sudah beroperasi secara komersial.
Nasib ahli waris terkatung-katung meski secara putusan hukum dinyatakan sah kepemilikannya. Perumahan PATI masih berdiri, dihuni para Jenderal dan Perwira Tinggi TNI, uang ganti rugi jalan tol tidak juga bisa dicairkan.
Hukum sudah terang-terangan diabaikan, negara tidak berdaya memenuhi hak warganya.
Beredar kabar Ketua Pengadilan Negeri Bekasi merasa dalam ancaman oknum, ketika berniat baik mengeksekusi uang konsinyasi sebelum lebaran tahun ini. Butuh dukungan lebih dari Presiden yang tidak hanya sebatas himbauan laksanakan putusan setegak-tegaknya.
Dana konsinyasi 218 milyar cukup menggiurkan diperebutkan mafia bermodal besar dibeking kekuasaan. Mental dan nyali hakim kelas Pengadilan Negeri tidak sebesar Presiden meskipun hukum taruhannya.
Belasan warga ahli waris bisa apa menghadapi perundungan secara sistemik? Kalaupun terpaksa harus merelakan, berarti putusan hukum MA hanya menjadi kalimat di lembar kertas usang.
Kebuntuan hukum yang merugikan masyarakat dianggap hal biasa sepanjang tidak merugikan inatitusi negara. Warga para pembayar pajak, pendukung pemerintahan yang sah dan taat hukum seiring waktu akan mati dengan membawa amarah.
Mereka yang dianggap durhaka karena tidak mampu menjaga lahan warisan pendahulunya. Dan negara yang membiarkan oknum penguasa mempermainkan hukum.
*
Redaksi Suluhnusantaranews (Dahono Prasetyo)