Sejarah, Geopolitik dan Jalan Trisakti Bung Karno 

Opini Politik

banner iklan 468x60

“Kecepatan sampai tujuan terkadang tidak selalu melalui jalan yang jaraknya lebih pendek. Jalan yang lebih jauh pun dapat ditempuh lebih cepat sampai ke tujuan. Mempelajari keadaan detil hingga menjadi sebuah pengetahuan merupakan strategi jitu menguasai sesuatu.”–AW (belajar membaca geopolitik).

Ketum Demokrat yang mengatakan setiap rakyat yang ditemuinya di seluruh Nusantara mengaku hidup semakin sulit, sudah pasti tidak pernah belajar geopolitik Indonesia, terutama saat ini. Sepertinya dia bersama istrinya lebih bahagia bertemu bunda Corla di Jerman, ketimbang mempelajari kondisi Indonesia.

Begitupun dengan tokoh bakal cawapres yang mengaku sudah mendapat tiket dalam pilpres. Dia bernarasi akan melakukan perubahan. Saking banyaknya narasi sampai lupa menyisipkan satu saja poin perubahannya itu apa? Jika mengubah Pancasila, NKRI dan bendera merah putih, maka tokoh ini tidak memahami sejarah.

Geopolitik dipelajari sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang sistem politik yang berhubungan dengan letak geografis. Secara umum Geopolitik juga bisa diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijakan (policy) dan strategi nasional yang didorong oleh letak geografis suatu negara.

Sedangkan sejarah yang berkait dengan geopolitik merupakan nilai-nilai luhur yang telah tumbuh dan berkembang sejak zaman nenek moyang terdahulu. Inti sari nilai luhur tersebut secara baik telah dirumuskan menjadi way of life bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Sejarahnya bangsa ini adalah pluralisme, berbeda-beda tapi tetap satu Indonesia.

Sebuah bangsa terutama bagi pemimpinnya penting untuk mempelajari sejarah dan geopolitik bangsa sendiri, bukan bangsa lain. Dari sanalah semua ide gagasan akan “bangsa besar” terlahir dan terbangun. Seperti apa yang menjadi impiannya Bung Karno, sebuah Indonesia Raya, Nusantara. Yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Indonesia Raya dalam gagasan para pendahulu juga ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (pembukaan UUD 1945, alinea keempat). Konstitusi bukan kitab suci maka bisa dilakukan perubahan (mengikuti tuntutan zaman). Sudah mengalami beberapa kali amandemen.

Yang tidak bisa diubah adalah bagian mukadimahnya, karena itu history pembentukan dan pendirian bangsa Indonesia. Jika diubah maka akan mengubah keseluruhan bentuk negara Indonesia. Hal ini yang perlu kita jaga. Para pendiri telah membangun pondasi berpikir dari bangsa ini untuk tumbuh dan berkembang.

Pemimpin sekarang memiliki tugas dan tanggungjawab bagaimana mewujudkan gagasan besar Indonesia Raya di atas pondasi tersebut. Sebagian ide gagasan sudah dimulai namun bisa saja belum selesai. Sebagian ada pula gagasan baru menjawab tantangan zaman. Pemerintah sekarang lebih jelas lagi meneruskan gagasan Bung Karno.

Hal yang terkait dengan Trisakti: berdaulat (politik), berdikari (ekonomi) dan berkepribadian dalam kebudayaan (sosial) tengah getol menjadi konsep pembangunan, seperti: membangun wilayah terluar dan perbatasan, food state, nasionalisasi, hilirisasi, infrastruktur, cinta produk dalam negeri, revolusi mental, pelestarian budaya Nusantara, hingga pemindahan ibukota negara ke Kalimantan.

Setiap kita tidak pernah kekurangan ide dan gagasan akan perubahan (ada saja kreativitas yang bisa dilakukan). Sekian banyak kajian dilakukan, dan sudah dimengerti di mana permasalahannya. Persoalannya, budaya eksistensi dengan klaim serta selalu menunjukkan “saya yang terbaik”, masih mendominasi pemikiran masing-masing orang.

Seperti yang diungkapkan Hasyim Djojohadikusumo yang mengatakan 99% program pemerintah sekarang berasal dari Prabowo. Namun, seperti dijawab sendiri oleh sang kakak (Prabowo), bahwa untuk memimpin negara, Prabowo harus belajar dari Jokowi. Bagaimana seorang pemilik gagasan tapi masih harus belajar memimpin? Menunjukkan kelemahan kedua masyarakat kita.

Yakni, kecepatan dan ketepatan dalam bertindak merealisasikan gagasan. Gagasan besar itu bagus, tapi akan tetap berada dalam angan jika tidak direalisasikan. Kebanyakan pemimpin kita merasa takut akan konsekuensi yang diterimanya. Jokowi sendiri sebagai presiden mengaku tidak pernah takut tidak populer dan dianggap tidak populis. Ketika demi kepentingan semua (bangsa), maka keputusan harus diambil.

“Saya pertaruhkan jabatan saya,” ujar Jokowi untuk menunjukkan, baginya jabatan presiden bukan apa-apa, amanah menjunjung konstitusi itu yang berat, amanah mensejahterakan seluruh 275 juta rakyat itu yang berat. Selebihnya, tidak ada yang Jokowi takuti. Dia tengah membangun track (pondasi) bangsa Indonesia agar kuat meski dihantam badai seperti apapun.

banner 120x600

Tinggalkan Balasan