Jogja Mendadak Agnostik, Beragama Atau Tidak Menjadi Sama Saja?

Jogja Istimewa

Ini era dimana keyakinan beragama bisa digiring menjadi keyakinan kelompok. Bagaimana kepentingan agama menjadi nomer dua di bawah kepentingan kelompok.

Karena keyakinan agama bukanlah kelompok, tetapi urusan manusia dengan penciptanya. Setelah bangunan keyakinan kelompok menebal, tinggal buka satu pasal dalam agama untuk mendukung kepentingan kelompok.

Fenomena Ngaji Trotoar sudah pasti untuk kepentingan kelompok. Alibi menebar kebaikan di muka umum pada akhirnya berharap imbalan (simpati) dari umum. Kemudian kelompok semakin membesar menjadi ruang interaksi bagi mereka yang hobby pamer di dunia digital. Dalam kemasan religius.

Apa yang terjadi dengan generasi muda di Jogjakarta? Kreatifitas pada gilirannya menembus batas kaidah Agama. Kota Pelajar Jogjakarta gudangnya ide kreatif, mampu merekayasa ruang publik menjadi klaim privasi untuk satu kelompok.

Trotoar di waktu tertentu menjadi milik segolongan orang yang ingin mengekspresikan cara mereka beribadah. Cara beribadahnya yang kreatif, bukan ke-khusukannya.

Dikoordinir oleh lembaga Badan Wakaf Al-Quran (WBA) yang bila didefinisikan menjadi lembaga penyantun kitab suci. Rajin berbagi kitab suci namun lupa mengajari etika membaca pada tempatnya

Yang kemudian terjadi viral lebih penting daripada Qalqalah, pose lebih penting daripada Taj’wid. Semakin celakanya, masjid mendadak sepi karena sudah diklaim salah satu partai berbasis Islam sebagai medan berpolitik.

Saat Agama dijadikan mesin politik, mendadak ingat syair lagu Imagine John Lennon yang Agnostik :
Bayangkan tidak ada surga…
Tidak ada neraka di bawah kita…
Bayangkan semua orang hidup untuk hari ini
…dan tidak ada Agama juga
Bayangkan semua oran menjalani hidup dengan damai.

Ngaji Trotoar bukan lagi tabu, karena para pendakwah mengajarkan demikian. Kepentingan umum menjadi nomer sebelas di negara Demokrasi sekelas Indonesia. Lalu sentimen antar Agama mengusik hidup yang sudah lama berdampingan.

Maka beragama atau tidak menjadi sama saja. Tidak merubah sesuatu menjadi lebih baik.

Mereka yang menjaga perbedaan dengan ukuran mayoritas minoritas. Itulah kulit, bukan intisari yang sesungguhnya sampai kepada anak-anak muda. Di Jogjakarta, kota yang sesungguhnya plural dengan penghuni beraneka pendatang. Namun rapuh memahami toleransi
***
Suluhnusantaranews – Dahono Prasetyo

Tinggalkan Balasan