Untuk kesekian kalinya jalan tol Cimanggis Cibitung exit gate Jatikarya 2 diblokir warga ahli waris. Konflik lahan Jatikarya yang belum terbayar uang ganti rugi pembebasan lahan, memaksa warga menduduki lahannya sendiri yang kini sudah menjadi beton, aspal dan gerbang tol.
Sedemikian pelik dan kusutkah persoalan ganti rugi jalan tol? Seharusnya tidak, karena uang ganti rugi sudah dikonsinyasi (dititipkan) di Pengadilan Negeri Bekasi sejak tahun 2016. Uang 218 milyar yang secara hukum melalui putusan PK MA sah milik pukuhan warga ahli waris Jatikarya. Namun pemerintah nampaknya mengalami kebuntuan memastikan siapa pemilik lahan yang sesungguhnya.

Sengketa lahan ahli waris dengan Kemenhan (cc: Mabes TNI) mengharuskan PUPR menitipkan uang ganti rugi di Pengadilan negeri Bekasi. Setelah putusan PK MA memenangkan warga seharusnya uang ganti rugi diserahkan.
Pada faktanya Putusan PK MA hanya menjadi lembar kertas belaka. Kemenhan (cc: Mabes TNI) enggan melepas status Barang Milik Negara (BMN) lahan Jatikarya yang terlanjur dikuasainya. Kementerian ATR/BPN tidak bisa mengesahkan kepemilikan lahan selama status BMN belum dicabut. Akibatnya Surat Pengantar dari ATR/BPN sebagai syarat utama pencairan konsinyasi di PN Bekasi tidak bisa dikeluarkan.
Bola panas konflik lahan tol Jatikarya berputar lintas institusi, saling bertautan saling melempar, saling cuci tangan.
Kemenhan, Mabes TNI, PUPR, ATR/BPN dan Pengadilan Negeri. Tidak ada satupun yang berinisiatif mengakhiri pendzoliman kepada rakyat, dampak sistem birokrasi beserta tumpang tindihnya aturan dan kewenangan.
Terlampau lama tak selesai, duri dalam daging konflik Jatikarya sudah lebam bernanah. Kalau Presiden juga yang harus turun tangan, alangkah beratnya menjadi seorang Jokowi. Tidak mustahil sebatang jarum jatuh di selokan, Jokowi juga yang dituntut ikut mencarinya.
Lalu mereka yang berdasi, berseragam riuh bertepuk tangan melihat Jokowi keluar dari got menemukan sebatang jarum untuk dikembalikan kepada rakyatnya.
***
Redaksi Suluhnusantaranews (Dahono Prasetyo)