Saat PDI Perjuangan dan PBNU Dikerjain FIFA

Bayangkan, hanya gegara sepak bola keberpihakan kita terbelah. Berbeda tendangan sudut pandang beda pula cara mencetak goalnya.

Untuk persoalan keikutsertaan Timnas Israel dalam Piala Dunia U 20 di Indonesia, dua kelompok besar di Republik ini berbeda sudut pandangnya. PDI-Perjuangan dan PB NU tidak berada satu pandangan.

Partai Politik berbasis Nasionalis terbesar memilih menolak Timnas Israel dengan alasan historis. Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina atas penjajahan Israel menjadi catatan sejarah keberpihakan kita yang belum terwujud.

Sementara PBNU sebagai ormas Islam terbesar tidak mempermasalahkan kehadiran Timnas Israel dalam rangka event olah raga. Ketua Umum PBNU beranggapan kiprah sepakbola Israel tidak akan merugikan Palestina.

Perbedaan sudut pandang keduanya pada akhirnya melahirkan polarisasi baru. FIFA bereaksi atas situasi yang tidak kondusif di Indonesia dengan membatalkan acara drawing. Indonesia terancam batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 untuk pertama kalinya.

Tinggal hitungan 7 minggu, pembukaan Piala Dunia 20 Mei 2023, situasi berubah drastis. Banyak pihak mendadak kecewa sekaligus dirugikan.

Jokowi dianggap tidak becus menyelenggarakan even penting meningkatkan gengsi bangsa pada olahraga sepak bola. Ganjar Pranowo dihujat tidak Nasionalis, lebih tunduk perintah partai daripada kepentingan bangsa. Beberapa kelompok yang sebelumnya militan buru-buru menarik dukungan untuk Ganjar maju Capres. Dan aneka kenaifan lain yang sayang untuk dituliskan disini.

Bumi Nusantara seolah terancam runtuh saat gelaran final Piala Dunia U 20 batal dilaksanakan karena penolakan dari kelompok Islam militan. Berlanjut PDIP dan Ganjar ikut menolak kedatangan Timnas Israel dengan alasan politis.

Sentimen pada sosok terlampiaskan, kebencian kepada pemerintah beserta PDIP-nya bertemu momentum. Mereka yang dirugikan secara mental karena selama ini merasa salah mendukung.

Ini semua gegara FIFA yang memang sudah berpolitik sebelum Indonesia punya mimpi menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kini saat mimpi nyaris terwujud, malah kita membuat masalah.

Kita kadang lupa, kedaulatan politik lebih penting daripada gebyar gempita event bergengsi. Karena di sepakbola kita baru sebatas “penonton” yang gemar bertepuk tangan. Penonton yang harus membayar gengsi, belum dibayar prestasi.

***

Redaksi Suluhnusantaranews (Dahono Prasetyo)

 

Tinggalkan Balasan