Perbedaan Profesi Dokter Dan Perawat Menurut Menkes. Benarkah Ada Kasta?

Opini Masyarakat

Menkes Budi Gunawan Sadikin (BGS) memang berbeda dengan Menkes sebelumnya yang latar belakangnya kedokteran. BGS yang berlatar belakang Bankir pada awal menjabat banyak orang yang mempertanyakan dan juga tidak sedikit yang punya harapan besar perbaikan manajemen dan birokrasi kesehatan.

Saat Pandemi  Covid 19  melanda profesi kedokteran dan perawat menjadi garda terdepan mempertaruhkan nyawa dirinya bahkan keluarganya  terselamatkan bangsa ini dari serangan Covid 19 yang melanda, tak seorangpun memperkirakan semua itu .
Kehadiran Meskes Budi Gunadi Sadikin yang berasal dari Bankir pada awalnya membawa secercah harapan tenaga medis yang mana saat itu dana insentif paramedis yang menangani pasien Covid 19 sering terlambat  pada hal paramedis telah mempertaruhkan semuanya.

Seiring berjalannya waktu kita dikejutkan oleh video Menkes kita di Tiktok yang seolah membelah paramedis antara dokter dan perawat serta membandingkan dengan dengan luar negeri. Video itu hasil Rapat kerja Kementerian Kesehatan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Kamis 26 Januari 2023 lalu.

Pernyataan tersebut sangat mengejutkan terutama bagi paramedis yang selama ini baik baik baik saja tiba tiba dipertentangkan antara perawat dan dokter. Menkes kita dalam pernyataannya mengatakan bahwa di Indonesia terdapat perbedaan kasta antara dokter dan perawat. Katanya, diluar negeri kasta dokter dan perawat hampir sejajar, sementara dalam negeri gapnya besar.

Statemen ini, terlepas benar atau tidak, cenderung memancing percikan pergesekan antara dokter dengan perawat. Pertanyaannya : apa Menkes pernah melakukan survei atau penelitian kualitatif terkait ini.

Interaksi perawat dan dokter di Indonesia memiliki sejarah panjang, bahkan lebih panjang dibanding periode kemerdekaan RI. Sepanjang itu, tidak pernah terjadi institutional clash atau organizational dispute antara dokter dan perawat. Belum pernah terdengar PPNI dan IDI konflik, baik dalam level nasional maupun lokal. Pergeseran-pergeseran kecil tentu ada, namun tidak signifikan dan tidak terkait kasta-kastaan.

Masing-masing profesi ini punya tupoksi standar. Dan mereka saling bahu-membahu melayani pasien. Perawat sekarang bukan lagi lulusan SPK. Banyak mereka telah menyelesaikan S2 dan bahkan S3 bidang keperawatan. Lantas kasta-kastanya dimana?

Pernyataan Menkes itu sesuatu yang wajar jika itu dilontarkan 40-50 tahun yang lalu di mana pekerjaan perawat di semua RS diisi oleh para nakes paramedis lulusan sekolah pendidikan keperawatan (SPK) yang setingkat dengan SMA, sedangkan para dokter di RS semuanya adalah lulusan FK (setingkat universitas).

Profesi Keperawatan di Indonesia dan di dunia betul-betul mengalami transformasi dan peningkatan kualitas SDM yang bisa dibilang mengagumkan (bahkan mencengangkan) dalam tiga dekade terakhir ini. Pada tahun 1980-1990 an, para perawat lulusan SPK digantikan oleh adik-adiknya yang lulus dari akademi keperawatan (setingkat D3). Bahkan sejak memasuki abad 21, para perawat lulusan akademi ini secara pelan tapi pasti digantikan oleh mereka yang berpendidikan setingkat S1 ditambah pendidikan profesi ners, setara dengan para dokter lulusan dari Fakultas Kedokteran.

Bahkan saat ini tidak sedikit perawat yang berpendidikan perawat spesialis, S2 sampai S3
Seorang pejabat publik setingkat menteri tidak seharusnya melontarkan pernyataan yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, dan hanya akan membuat kegaduhan di masyarakat dan menciptakan disharmonisasi di bawah kementeriannya yang seharusnya dia menciptakan suasana sejuk bukan sebaliknya.

Jikalau toh ingin melakukan reformasi tenaga kesehatan dia bisa melakukan secara lebih arif.
Haruskah publik dipaksa untuk memakluminya karena meskes bukan dari tenaga kesehatan.

Pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa itulah cermin kesenjangan profesi dunia kesehatan di Indonesia, cermin Kemenkes sendiri yang masih gagal membuat segalanya menjadi lebih baik. Melontarkan pernyataan dan persoalan, bukan menyampaikan solusi
***
Penulis : S. Ragil (Pemerhati Sosial)

Tinggalkan Balasan