Bekasi, Suluhnusantaranews. Barangkali ini menjadi sengketa tanah pemegang rekor paling lama yang tidak tidak terselesaikan hingga detik ini. Tahun 1992 saat Orba sedang berjaya dengan arogansinya, urusan serobot tanah oknum penguasa menjadi kejahatan kemanusiaan paling sistemik.
Oknum Penguasa berseragam hijau bersama BPN/Kementrian Agraria bebas mengklaim tanah dimanapun saat sedang dibutuhkan untuk kepentingan golongan. Jutaan hektar hutan dan perkebunan dibagi bagi tanpa aturan. Puluhan hektar tanah di posisi strategis di klaim mengatas namakan kepentingan negara.
Warga dibiarkan gigit jari kalau nggak kuat gigit besi. Tanah warisan leluhur yang dirawat turun temurun menjadi antara ada dan tiada. Melawan selalu berujung kalah, pasrah diartikan terpaksa tunduk.
Warga Jatikarya Bekasi yang menolak tunduk berusaha melawan melalui jalur hukum. Keluar masuk pengadilan beradu argumentasi dan intimidasi makelar tanah hanya bermodal nyali memegang kebenaran.
Hingga era rezim berganti, perjuangan warga masih dengan semangat yang sama. Orba runtuh berganti reformasi, beberapa keputusan di pengadilan menemui jalan terang. Tahun 2000 warga Jatikarya menggugat haknya. Harapan dikabulkannya hak atas tanah warga sah di MA dengan keluarnya PK I No 218 PK/Pdt/2008 Tanggal 28 November 2008.
Tahun itulah presiden sudah berganti 6 kali. SBY sebagai penguasa 2 periode dielukan warga bak pahlawan agraria. Sorak kemenangan penantian panjang hanya fatamorgana. Hak tanah yang sudah dinyatakan sah secara hukum tidak serta merta diakui oleh BPN. Hingga perjuangan warga berlanjut dengan sisa semangat yang masih ada.
Sengketa menjadi bertambah pelik ketika sekitar 48 hektar total tanah yang bermasalah, 4,3 hektarnya terkena pembangunan jalan tol. Proyek tetap berjalan di atas tanah bermasalah dengan kompensasi pembebasan 4,3 hektar tanah senilai 218 Milyar dititipkan ke pengadilan negeri Bekasi oleh PUPR. Siapa yang berhak atas dana tersebut, sudah pasti pihak yang memenangkan PK I MA.
Dan perjuangan warga menuntut keadilan di MA terus berjalan. Dan Keadilan di MA masih berpihak pada warga (Candu bin Godo). PK II MA No 815 PK/Pdt/2018 yang memutuskan menguatkan PK I No 218 PK/Pdt/2008 diketok palu MA. Setahun kemudian pada 2019 putusan tersebut telah incracht.
Tahun 2019 menjadi masa keemasan Pemerintahan Presiden Jokowi dengan skema Reformasi Agraria. Era dimana berbagi puluhan ribu sertifikat menjadi pertanda keseriusan pemerintah menyelesaikan hak warga atas lahannya.
Namun perjalanan panjang warga Jatikarya masih tetap tidak pernah mencapai kata konkrit. Putusan PK II MA yang seharusnya ditaati oleh BPN dengan mensahkan kepemilikan lahan Jatikarya kepada warga dan ahli waris berubah menjadi “bola ping-pong”.
Jika BPN melaksanakan putusan MA sama halnya mengalahkan kepentingan TNI yang di masa Orba terang terangan menyerobot tanah warga. Memenangkan warga berarti harus berhadapan dengan kepentingan TNI yang tak ingin kehilangan sejengkal tanah serobotan di masa Orba. Hingga hari ini sengketa tanah tersebut tetap menjadi upaya penutupan aib terbesar BPN selama 31 tahun (1992-2021)
Jangankan warga berharap lahannya dikembalikan oleh negara, lahan mereka yang sudah diganti rugi oleh PUPR juga tak berujung diserahkan.
6 Presiden sepanjang lebih 3 dasawarsa tak juga mampu meluluhkan dominasi militer atas klaim tanah sepihak. BPN ikut andil memperumitnya
Saat hukum tak juga menjadi panglimanya. Rakyat hanya tinggal berharap kebaikan pada pemimpin negara. Bahwa ternyata bukan Agrarianya yang harus di Reformasi, tetapi para pejabatnya.
Nasib hak warga Jatikarya tergantung pada campur tangan Jokowi. 218 Milyar dana ganti rugi proyek tol Cibubur Cibitung akankah ikhlas diserahkan negara kepada warga?
Ataukah mesti menunggu ada Presiden ke delapan, atau ke sembilan. Sementara warga Jatikarya pemilik sah hak tanah tinggal menyisakan para anak cucunya. Orang tuanya sudah kembali padaNya, meninggalkan kekecewaan dan tak sempat menurunkan tanah warisan sebagai buah kebaikan.
Semoga Jokowi dengar
***
Redaksi Suluhnusantaranews (Dahono Prasetyo)