Bola Panas Konflik Lahan Tol Jatikarya, Integritas Lembaga Peradilan Dipertaruhkan

Konflik Agraria

Indonesia akan menjadi salah satu Negara dengan Pendapatan per kapita 5 besar dunia, kini mendekati kenyataan. Dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo, Indonesia diprediksi pada tahun 2024 akan menjadi Negara dengan GDP No 5 di dunia setelah China, USA, India dan Jepang.

Proses menjadi negara maju membutuhkan pembangunan dalam segala aspek, salah satunya infrastruktur dasar berupa jalan bebas hambatan (Jalan Tol)

Infrastruktur fisik yang akan membuka kawasan ekonomi baru, memperpendek jarak tempuh, meningkatkan daya saing, menekan ekonomi biaya tinggi.

Pembangunan infrastruktur, dalam pelaksanaanya sering kali membutuhkan lahan warga masyarakat. Lahan tersebut akan mendapat ganti rugi. Presiden dalam berbagai kesempatan menyebutnya dengan istilah ganti untung.

Kegiatan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, diatur dalam UU No 2 tahun 2012 , diperbarui oleh UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal 3 UU 2 tahun 2012 menyatakan kan bahwa kegiatan pengadaan tanah tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang.

Undang Undang Dasar memberi jaminan perlindungan Hak Asasi (HAM), dijamin oleh pasal 28 H(4) UUD NRI. “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapapun”

Kesewenangan dapat terjadi dalam bentuk merampas paksa objek tanah tanpa membayar ganti rugi, atau membiarkan uang ganti rugi (konsinyasi) tidak kunjung diserahkan kepada yang berhak, padahal putusan sudah incracht.

Dalam Kegiatan Pengadaan Tanah Tol jatikarya, lahan warga masyarakat seluas 4,2 hektar yang terkena proyek jalan tol Cimaci telah di konsinyasi sejak tahun 2017. Dan sejak tahun 2019 sudah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan MA PK II No. 815PK/Pdt/2018. Jo. No. 218PK/Pdt/2008

Sesuai aturan Perundangan untuk mengambil uang ganti rugi diperlukan putusan BHT disertai surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah (dalam hal ini Ka Kantor BPN/ATR)

Entah dengan alasan apa ATR/BPN tidak menghormati hukum, padahal sudah tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh dan pihak pihak yang kalah sudah di aanmaning secara patut, bahkan ATR/BPN sudah ditegor sebanyak 2 kali, namun tidak pernah hadirhadir memenuhi kewajiban hukumnya.

Empat kali lebaran sudah, warga masyarakat Jatikarya sebagai pemilik belum dibayar, berjuang mempertahankan hak mereka, menduduki tanah mereka masing masing yang telah dibangun Jalan Tol, otomatis Jalan Tol terblokir. Warga sedang memperjuangkan hak Konstitusinya, tidak ada aturan hukum manapun yang dilanggar oleh warga masyarakat.

Mempertahankan hak dijamin oleh UUD NRI. Asas Salus Populi Suprema Lex Esto, Keselamatan Rakyat merupakan Hukum Tertinggi, tidaklah tepat dipakai dalam case warga masyarakat mempertahankan haknya. Negara harus dalam keadaan darurat, barulah dibenarkan demikian pendapat Prof Jimly Asshiddiqie.

Sampai kapan hal demikian akan terus dibiarkan?

Fortunately, amar Putusan PK MA “menghukum tergugat serta siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya untuk membayar ganti rugi tanah”

Karena PUPR sudah mendapatkan sebagian objek perkara, maka PUPR menjadi pihak turut terhukum. Uang ganti rugi sudah dibayar dan dititipkan PUPR di Pengadilan.

Berhubung UU No 2 sudah tidak lagi dilaksanakan dengan konsekuen, dan sudah terjadi pembiaran pelanggatan HAM oleh ATR/BPN (Negara), maka dengan amar putusan condemnatoir, Pengadilan wajib bersikap, menggunakan palu hukum upaya paksa, eksekusi .

Demi Keadilan dan Kepastian Hukum, pelaksanaan eksekusi sepenuhnya ada di tangan Pengadilan, wajib dilaksanakan.

Berhubung tanah yang diambil sudah menjadi PSN, dan sudah berubah bentuk menjadi uang ganti rugi, maka dengan eksekusi Pengadilan wajib menyerahkan uang ganti rugi kepada pemilik yang berhak.

Negara Indonesia menganut pembagian Kekuasaan *TRIAS POLITICA* sebagaimana diatur oleh Konstitusi, *intervensi* dari pihak pihak manapun *bertentangan dengan Konstitusi* , wajib dikesampingkan, Fiat justitia ruat caelum

Yang Mulia Ketua Pengadilan Bekasi, sebagai wakil Tuhan di dunia, adalah terhormat, melaksanakan isi putusan mengakhiri perseteruan hukum selama 23 tahun yang melibatkan lebih dari 20 perkara dan barangkali sudah melibatkan lebih dari 100 hakim di berbagai tingkat peradilan. Semua perkara harus ada akhirnya, Litis finiri oportet.

***

J.Styawan (Pemerhati Hukum)

Tinggalkan Balasan