Siklus Lima Tahunan Petugas Partai Yang Diributkan, Begini Penjelasannya

Opini Politik

Suluhnusantaranews. Saya tidak ingat, kapan Megawati pertama kali melaunching istilah ini ke publik. Jika di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDiP), istilah “petugas partai” (selanjutnya disingkat “Gaspar”) sudah sangat sering disebut dan didengar (ada dalam AD/ART Partai). Setidaknya sejak Sekolah Partai PDIP Angkatan I digelar (2012). Terlebih heboh ketika Gaspar juga disematkan kepada Jokowi yang terpilih sebagai presiden di 2014.

Ada kesan penolakan oleh publik terhadap status Gaspar oleh PDIP. Publik menganggap keliru dan tidak pas. Masa seorang presiden yang merupakan pilihan rakyat disebut dan dianggap sebagai petugas partai? Berarti presiden tersebut hanya tunduk dan patuh kepada partai atau Ketua Partai? Anggapan publik ini justru tidak tepat. Yang tepat adalah, presiden menjalankan kebijakan partainya yang merupakan representasi dari rakyat konstituen.

Sebagai contoh, Presiden Obama saat menjabat juga mewakili seluruh kebijakan Partai Demokrat. Sebaliknya begitu presiden dari Partai Republik akan mewakili kebijakan Partai Republik. Para pengamat dan akademisi sampai hafal, bagaimana garis kebijakan masing-masing partai tersebut yang terlihat jelas berbeda. Maka saat pertarungan kandidat presiden dari masing-masing partai sudah diketahui kemana arah kebijakannya.

Misal lagi di Jerman ataupun Australia yang memiliki partai buruh dan berhaluan kiri, juga pasti akan direpresentasikan oleh PM yang terpilih. Jadi, meskipun sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat, tapi seorang pemimpin sebuah negara pasti akan membawa garis kebijakan partai. Maka tidak heran jika tidak semua rakyat bisa mendukung pemerintahan. Atau tidak semua suara rakyat bisa ditampung oleh pemerintahnya.

Jangan salah, partai yang benar itu juga membuat disain besar akan pemerintahan sebuah negara termasuk mau kemana arahnya. Mereka mendisain beberapa visi misi lalu diturunkan kepada kebijakan ekonomi, politik, hukum dsb. Tidak hanya asal-asalan bikin partai untuk meraih suara terbanyak saja. Dari partai pula akan melahirkan kader-kader yang harus siap ditugaskan sebagai apapun. Jadi tidak pula hanya keinginan kader, melainkan lebih utama karena penugasan partai.

Ada yang ditugaskan sebagai anggota dewan di daerah kabupaten/kota, propinsi ataupun pusat. Ada yang ditugaskan sebagai kepala daerah kabupaten/kota, propinsi ataupun presiden. Ada pula yang ditugaskan khusus menjadi pengurus di struktural partai. Dalam mekanisme di internal PDIP, seluruh kader harus melewati berbagai persyaratan, seperti: mengikuti pendidikan kader di sekolah partai, penugasan untuk turun ke rakyat (kerja ideologi) dan sebagainya.

Hasil dari seluruh persyaratan tadi akan diadakan penilaian, dan sebagai kader terbaik dengan nilai terbaik lah yang akan mendapat penugasan dari partai. Secara garis besar, mekanisme penugasan di setiap partai itu sama, hanya mungkin berbeda standarnya. Masing-masing partai bisa menyebut sebagai kader terbaik, calon terbaik atau apapun itu. PDIP menyebutnya dengan Gaspar atau “petugas partai”. Jadi suara rakyat tidak sepenuhnya merupakan suara partai dan sebaliknya?

Apa boleh buat. Demikianlah sistem politik kita dijalankan dan juga oleh semua negara yang bersistem demokratis. Berbeda lagi dengan sistem monarki dan otokrasi serta fasis (junta militer). Ceritanya, rakyat zaman dulu (monarki) berontak ingin didengarkan suaranya secara langsung. Sempat terjadi demokrasi langsung karena jumlah penduduk masih sedikit. Beriring waktu jumlah penduduk semakin banyak, maka semakin tidak praktis dengan sistem demokrasi langsung, diganti dengan sistem demokrasi perwakilan.

Dibentuklah partai politik yang merupakan perkumpulan orang-orang yang memiliki tujuan sama dan pandangan politik sama. Maka dapat dibayangkan, rakyat sendiri memiliki banyak tujuan yang saling berbeda yang diwakili oleh partai. Maka dari itu, akan lucu jika rakyat menuntut partai buruh bersikap membela agama, misalnya. Concern nya berbeda. Tidak semua partai bisa mengcover semua keinginan rakyat. Ada yang berbasis religius, nasionalis, profesi, dsb.

Bagaimana agar pemimpin yang dipilih rakyat tidak hanya mendengar suara partainya? Sebenarnya ya tidak bisa pula mengabaikan begitu saja akan kehendak partainya, tapi pemimpin dari kader partai tentu bisa mengambil kebijakan ataupun keputusannya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan garis kebijakan partai. Apakah tidak akan menjadi boneka partai? Tidak juga. Beberapa kali Jokowi sempat berbeda pandangan dengan PDIP. Atau legislator dari PDIP juga sering kritik dan menyerang pemerintah Jokowi.

Jadi, tidak perlu dibesar-besarkan terkait sebutan “Gaspar” ini. Presiden RI tetaplah presiden seluruh rakyat, bukan hanya rakyat konstituen partainya. Artinya, semua program kebijakan pemerintah termasuk juga diperuntukkan kepada rakyat konstituen partai lain. Jika dalam angka, PDIP pada pemilu 2019 lalu memboyong 23.681.471 suara atau 18,95 persen suara sah. Sejumlah itu plus mungkin ada anaknya yang belum menjadi pemilih, yang direpresentasikan PDIP.

Artinya, partai juga punya dasar dalam membuat keputusan. Sedangkan mereka yang suka menyerang atau tidak suka istilah Gaspar tadi berapa orang? Itu jika terkait dengan kuantitas jumlah suara. Untuk mengukurnya, apakah benar karena Gaspar ini suara PDIP akan turun pada 2024 nanti? Kalau iya, berarti memang memiliki efek. Tapi jika tetap atau bahkan naik, maka suara menolak istilah Gaspar sangat kecil, bahkan mungkin berada di luar PDIP.

*** (Agung Wibawanto)

Tinggalkan Balasan