Akun Instagram @islah_bahrawi menjelaskan tentang bagaimana perang saudara di Sudan yang berasal dari pertikaian antar agama dan penegakan hukum Syariat Islam di negara yang beragam keyakinannya.
Pada tahun 1983, presiden Ja’far al Numayri mengumumkan bahwa hukum Syari’ah Islam diberlakukan secara resmi diseluruh wilayah Sudan. Ditandai dengan acara simbolik nan teatrikal, menuangkan ribuan botol Wiski dan bir ke sungai Nil.
Negara itu akan memberlakukan sanksi “Hudud” secara ketat, artinya hukum pancung, rajam dan mutilasi tangan akan di berlakukan di Sudan. Semua penduduk Khartoum dan juga rakyat bagian utara Sudan menyambut gembira. Apalagi gairah Islam pada saat itu sedang mekar-mekarnya.
Namun inilah sumber masalahnya, rakyat Sudan bagian selatan beragama Kristen dan Animisme. Sehingga mereka tergerak untuk melakukan perlawanan bersenjata. Inilah awal terjadinya perang sipil kedua di Sudan. Genangan “bensin” disintegrasi sudah mulai terpantik api. Antara pihak utara dan selatan saling serang, saling bantai. Selama hampir 22 tahun, menelan korban jiwa sekitar 2 juta orang.
Baca Juga : Sumanto Al Qurtuby : Perang Saudara dan Runtuhnya Kekhalifahan Sudan Yang Gagal Menerapkan Syariat Islam
Tercatat sebagai perang sipil terlama dalam sejarah. Sepanjang perang itu, rakyat Sudan di pedesaan harus berbagi tempat dengan Kalashnikov, granat, Kaskara, darah dan airmata. Perang berakhir pada tahun 2005, di masa pemerintahan Omar al Bashir. Pada tahun 2011, rakyat Sudan bagian selatan melakukan referendum pemisahan diri. Hampir 100% menyatakan setuju. Pada tahun itu juga negara Sudan Selatan resmi berdiri.
Presiden Omar al Bashir dikudeta oleh pihak militer pada April 2019. Saat ini dia ditahan untuk banyak kasus korupsi yang membelitnya, juga nepotisme dan oligarki. Belum lagi menghadapi Peradilan Internasional untuk kejahatannya sebagai pelaku genosida selama 30 tahun pemerintahannya.
Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi bukti betapa riskannya memulai sesuatu dengan paras Islam yang sanksional. Gairah yang dirasakan oleh pendukung Syari’ah sendiri jadi menciut setelah benar-benar diterapkan. Sudan menerapkan sanksi Hudud di tengah masyarakat yang kelaparan. Hukum negara seharusnya mendahulukan keadilan di atas sanksi-sanksi, menjamin stabilitas di atas hukum pancung dan menjamin perut kenyang sebelum memotong tangan. Sudan nampaknya memang tempat yang pas bagi mereka yang ingin menggusur Pancasila dan anti Kebhinekaan. Silakan pindah. Mau?.
***Sumber ARNnews|SN-Erlangga