Sumanto Al Qurtuby : Perang Saudara dan Runtuhnya Kekhalifahan Sudan Yang Gagal Menerapkan Syariat Islam

Konflik Sudan

Prof Sumanto Al Qurtuby dalam sebuah unggahan narasi menjelaskan sebab keruntuhan kekuasaan “Khilafah” Presiden Sudan bengis Omar Al-Bashir:

Akhirnya, Omar Hasan Ahmad al-Bashir, pemimpin bengis Sudan, terkena hukum karma: tumbang dikudeta oleh tentara setelah 30 tahun berkuasa dengan kejamnya. Sudah sejak dulu saya mengkritik pemimpin politik yang somplak ndase ini. Pada 11 April, 2019, ia dikudeta oleh tentara di bawah pimpinan Menteri Pertahanan Ahmed Awad Ibn Auf.

Kini, Al-Bashir bersama para pentolan kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin dikurung dalam “tahanan rumah” dengan penjagaan superketat, dan Sudan dinyatakan “darurat” sampai proses Pilpres dalam 1-2 tahun ke depan.

Ini memang hukum karma buat Al-Bashir karena dulu, tahun 1989, ia berhasil menjadi Presiden Sudan juga melalui proses kudeta militer yang dipimpinnya, menggulingkan Sadiq al-Mahdi yang terpilih secara demokratis. Pendongkelan kekuasaan waktu itu didukung oleh seorang ulama konservatif -fundamentalis Hasan Turabi: salah satu pimpinan kelompok radikal Islamis, National Islamic Front yang kemudian kelak “bermimikri” menjadi National Congress Party (NCP) yang mengontrol Sudan.

Baca Juga : Perang Saudara di Sudan Dipicu Isu Agama dan Tegakkan Syariat Islam

Sejak pendongkelan kekuasaan itu, Omar Al-Bashir dan Hasan Turabi (belakangan mereka berkelai sendiri rebutan “apem kekuasaan”) bersekutu memimpin Sudan dengan tangan besi. Merekalah figur-figur di balik pemaksaan institusionalisasi Syariat Islam di Sudan. Karena tidak laku di pasaran, mereka memaksakan “dari atas” pemberlakuan Syariat Islam itu yang sebetulnya hanya sebagai “topeng monyet” saja.

Partai yang mereka dirikan tahun 1992, NCP, “disulap” menjadi partai tunggal layaknya Golkar di zaman Mbah Harto agar bisa mengontrol jalannya kekuasaan. Al-Bashir terpilih menjadi presiden lagi dan lagi melalui proses Pemilu dobol yang penuh rekayasa, persis di zaman Orde Baru dulu. NCP adalah parpol berideologi Islamisme-Salafisme yang bersekutu dengan kelompok konservatif ekstrim Ikhwanul Muslimin yang cheerleader dan simpatisannya banyak bergentayangan di Indonesia.

Al-Bashir dan Turabi (w. 2016) adalah tokoh-tokoh bengis di balik berbagai kejahatan kemanusiaan dan pembunuhan massal di Darfur di Sudan bagian Barat. Ratusan ribu umat Islam Darfur mati sia-sia karena ambisi kekuasaan mereka.

Supaya mereka bisa “lepas tangan” dan memberi kesan apa yang terjadi di Darfur adalah “perang sipil”, bukan kekerasan negara atas warga sipil, mereka membentuk kelompok milisi Janjawid (seperti Laskar Jihad dulu di Indonesia yang menyerbu Maluku) yang terdiri dari para suku Arab Sudan. Milisi Janjawid inilah yang dikerahkan untuk membakar perkampungan, memperkosa kaum perempuan, dan membunuh umat Islam Darfur yang tak berdosa.

Melihat berbagai kekejaman di Darfur dan wilayah Sudan lain, tak ada satu jentil pun ormas Islam di Indonesia yang bersuara dan angkat bicara mengkritik kebiadaban Bashir, Turabi, dan Janjawid. Padahal biasanya mereka berisik kayak kaleng bodol rela demo keleleran di jalan-jalan dan lapangan kalau “membela” umat Islam Palestina atau Rohingya.

Kasus Al-Bashir dan Sudan lagi-lagi memberi pelajaran berharga bahwa Islam dan Syariat Islam sering kali hanya dijadikan sebagai “topeng munyuk” dan “kedok kampret” saja oleh para elit Muslim untuk mengelabui publik.

Tapi publik Sudan ternyata mempunyai nalar dan logika sendiri kapan waktu yang tepat untuk menggulingkan si bengis. Setelah melalui protes masa sejak Desember lalu lantaran muak dengan kebiadaban Al-Bashir selama ini, akhirnya ia pun tumbang. Militer sukses mengambil momentum ini untuk menghempaskan “si raja tega yang durjana” yang suka menggebrak-gebrak meja. Jabal Dhahran, Jazirah Arabia.
***Sumber ARNnews|SN-Erlangga

Tinggalkan Balasan