Suluhnusantaranews. Pada 7 Februari 2023 Presiden Joko Widodo meminta RUU Perampasan Aset untuk dibahas dengan segera.
Bukan hanya DPR RI, para pembantunya yakni menteri kabinet di bawahnya yang terkesan lèlèt adalah pihak – pihak yang dituju.
Ini bukan kerja satu orang apalagi hanya seorang menteri. RUU ini sudah puluhan tahun luntang lantung. Setelah Presiden berteriak, Menkumham Yasonna Laoly dan Kemenkopolhukam pun turut menimpali.
Ketika publik tak tahu dimana letak bola itu berada, siapa siap menendang, eksekutif atau justru legislatif, keduanya sering tak kompak.
Bila ada sedikit harapan, Kejaksaan Agung diberitakan telah mulai mendorong proses penguatan Direktorat Pemulihan Aset di dalam draf RUU Perampasan Aset.
Bahkan, kejaksaan pun berencana meningkatkan statusnya menjadi badan tersendiri agar lebih optimal dalam menjalankan tugasnya.
Ketika pertanyaannya adalah kenapa para pihak hingga saat ini masih terlihat santai, baik legislatif maupun eksekutif justru sering terlibat saling lempar.
Itu mudah kita lihat. Ketika pak Mahfud MD kembali melempar gagasan ini saat beliau RDP dengan Komisi III, anggota Komisi III justru balik mempertanyakan hal serupa pada pemerintah.
Sebagai rakyat, kita dibuat bingung.
Bila RUU itu terkesan terlalu sulit disahkan menjadi UU, mudah bagi kita menunjuk hidung siapa paling bertanggung jawab. Mudah kita bertanya, pada siapakah korupsi sering terjadi?
Jawabannya pun mudah. Pejabat publik, penyelenggara negara yang kebanyakan adalah para politisi dan penegak hukum.
Artinya, bila pejabat publik, eksekutif, legislatif dan bahkan mereka yang berada di bawah atap penegak hukum, dan mereka semua adalah target dari RUU ini, pantaskah mereka enggan?
“Sejak kapan sih RUU ini mulai disusun?”
Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi. Dan lalu Indonesia meratifikasi nya dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Anehnya, bahkan setelah kita meratifikasi Konvensi tersebut, hingga hari ini, setelah lebih dari 16 tahun, UU Perampasan Aset itu tetap tidak kita miliki.
Padahal, UU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery seharusnya adalah merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.
Anehnya, meski RUU Perampasan Aset ini sudah mulai dibahas sejak tahun 2007 hingga 2010 dan draft itu pun sudah selesai, pada faktanya, RUU itu hanya selalu keluar-masuk daftar Prolegnas di DPR tanpa pernah menjadi UU.
“RUU ini bicara apa sih?”
RUU itu mengatur mekanisme mulai dari penelusuran, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil dari kejahatan bahkan sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.
RUU Perampasan Aset, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.
Pernah dengar putusan hakim yang bicara denda sekian atau subsider sekian tahun penjara? Itu ada dalam Undang-undang Tipikor pasal 18. Bila RUU Perampasan Aset ini diundangkan, tidak ada lagi cerita atau paling tidak hakim tidak lagi terjebak pada subsider. Aset yang dia punya bisa langsung dijual.
RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik. Jadi gak ada lagi cerita aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas atau bahkan sampai kehilangan barang bukti. Mobil misalnya.
Bahkan untuk aset hasil kejahatan berupa pabrik, hotel atau jenis usaha yang lain, dia akan tetap bisa langsung dikelola bukan harus tunggu dijual. Dan namun ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU tersebut.
“Tapi bukankah Surat Presiden justru yang belum sampai di DPR sehingga DPR juga jadi terhambat?”
Surat Presiden itu sebelumnya memang harus diparaf terlebih dahulu oleh enam instansi. Itu terkait maksud koordinasi dan harmonisasi. Enam instansi itu adalah Kemenkopolhukam, Kemenkumham, Kemenkeu, Polri, PPATK dan Kejaksaan Agung.
“Sudah belum?”
“Masih dalam persiapan penyusunan Surpresnya. (Rencana dikirim ke DPR) dengan segera setelah dilakukan koordinasi dan harmonisasi di semua sektor pemerintah instansi terkait,” kata Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan Jumat, 14 April 2023.
Kabar termutakhir, Surpres itu konon akan sudah dikirim paling lambat pada 21 April 2023 ini.
Bila benar, RUU yang sudah luntang lantung sejak 2006 itu benar – benar akan sudah punya status UU pada tahun 2023 ini.
Bila RUU itu menakutkan para Koruptor, apa yang kini sudah dimulai oleh Kejaksaan Agung, tidak bisa lagi dianggap enteng. Mereka yang kemarin lebih memilih untuk dipenjara dibanding jadi miskin, kini siap – siap saja menjadi mustahil.
Terhadap RUU ini, Kejaksaan Agung telah mulai meningkatkan statusnya. Kejagung sedang bersiap memiliki badan tersendiri demi lebih optimal dalam menjalankan tugas perampasan itu.
Badan Perampasan milik Kejagung itu kelak akan menjadi sektor basis atau leading sector. Dan itu akan berfungsi untuk mempercepat proses eksekusi aset hasil tindak pidana, khususnya korupsi dan pencucian uang.
Intinya, saat anda koruptor, saat status hukum anda butuh waktu panjang karena proses peradilan dari peradilan tingkat pertama hingga Kasasi, Kejagung sudah bisa menjual aset milik anda.
Bahwa dikemudian hari anda ga bersalah misalnya, bukan barang anda terima kembali tapi uang senilai barang itu pernah terjual. Ini penting terhadap nilai aset yang harganya cepat turun.
Jadi, bila anda adalah pejabat negara dan kekayaan anda jauh melampaui profil anda, siap – siap saja. UU ini punya tools yang mampu mencari kebenaran tentang asal kekayaan anda.
Bahkan mampu menjadikan anda jauh lebih miskin dibanding dengan anda yang jujur sejak awal, bukan mustahil dapat dilakukan dengan UU ini.
Dan ingat, Badan Perampasan milik Kejagung yang sedang dibuat itu kelak akan menjadi sektor basis atau leading sector. Badan ini jauh lebih menggetarkan dibanding jeruji penjara milik LP.
RAHAYU
Karto Bugel
Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02TKgX8CaudBaUtXPb5ahNvT3C29JttXmh4FySVQ6M9ZUukiaKt6iZgM9jAaxNRUQwl&id=100063491084872