Jangkar Baja: Jokowi Endorse Ganjar Tak Langgar Konstitusi

Suara Relawan

Jaringan Kerja Akar Rumput Bersama Ganjar (Jangkar Baja) turut merespons pernyataan sejumlah pihak yang terkesan mendikte sikap Presiden Jokowi dalam pemilu yang akan digelar 2024.

Sebelumnya JK menanggapi tidak diundangnya Nasdem oleh Jokowi dalam rapat Ketua Umum partai koalisi di Istana Negara pada hari Selasa (2/5/2023) lalu.

“Menurut saya, Presiden seharusnya seperti Ibu Mega, SBY. Itu (ketika jabatan) akan berakhir, maka tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah,” ujar Jusuf Kalla di kediamannya, kawasan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (6/5/2023).

Di alam demokrasi setiap orang bebas menyatakan sikap. Namun bukan berarti setiap pernyataan itu benar.

Menurut Ketua Presidium Nasional Jangkar Baja, I Ketut Guna Artha (Igat) bahwa setiap Presiden punya gaya dan etika berpolitik yang tidak bisa “dibanding-bandingke”.

“Manusiawilah seorang Presiden petahana (Jokowi) mengharapkan legasinya diteruskan oleh orang yang tepat melalui proses demokrasi pemilu. Dan ini berlaku diseluruh negara demokrasi manapun,” I Ketut Guna Artha.

Seperti misalnya Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang mendukung capres Hillary Clinton, untuk Pilpres. Dukungan ini diungkapkan Obama dalam sebuah pesan video.

“Saya mendukung dia (Hillary),” ujar Obama seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (10/6/2016).

“Wajar sikap kehati-hatian presiden Jokowi untuk menentukan pilihan meng”endorse” “succecor”nya. Dan itu butuh waktu pengamatan dan pendalaman yang tidak singkat. Jangan sampai terulang pengalaman Jakarta yang telah ditata akuntabilitas birokrasinya dan program mengurai problematika klasik seperti banjir, kemacetan dan jaring pengaman sosial diacak-acak (asimetris dengan program pemerintah pusat),” Igat.

“Oleh karena itu saya membaca pikiran presiden Jokowi sejak awal berharap koalisi pemerintah dilanjutkan ke 2024. Sikap kenegarawanan beliau tunjukkan dengan bermusyawarah, bernegosiasi, berkompromi dengan pimpinan parpol koalisi pemerintah untuk sebuah solusi terbaik tanpa melanggar konstitusi dan Undang-undang,”

“Namun pilihan politik tetap diserahkan kepada partai koalisi pemerintah. Itulah bentuk penghormatan beliau kepada pimpinan parpol,” Igat.

“Mestinya logika politiknya adalah ketika Nasdem sudah memilih jalan berbeda harusnya legowo keluar dari kabinet. Itulah sikap ksatria untuk memilih menjadi oposan yang konstruktif. Elit politik harus mengajarkan kepada rakyat arti sebuah komitmen, sikap tidak ambigu, tidak abu-abu,” Igat.

Hubungan Paloh dan Jokowi saat ini sedang berada di titik terendah. Hal ini tak terlepas dari keputusan NasDem mengusung Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Kita juga paham aktor-aktor politik di belakang Nasdem selain sosok sentral Ketua Umumnya, Surya Paloh. Disinyalir ada peran JK di belakang layar pada strategi membelah koalisi setengah oposisi.

Suka tidak suka Nasdem memang sudah “dipisahkan” oleh Jokowi. Gaya politik Jokowi yang sulit diduga adalah langkah catur. Sudah berpikir 3 langkah ke depan di saat lawan catur sedang sibuk menjawab langkah pertama.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto merespons pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut NasDem telah memiliki koalisi sendiri. Menurutnya politik juga dibangun dari aspek etika yang dimiliki masing-masing partai.

“Tanda-tanda Surya Paloh punya “agenda berbeda” dengan partai koalisi pemerintah sudah terbaca sejak pengumuman komposisi kabinet. Kemudian ditengah keprihatinan pemerintah menghadapi Covid 19 dengan refocusing anggaran untuk jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi nasional, Gedung Nasdem Tower di Godangdia dibangun megah melebihi kantor “penguasa” Orde Baru Golkar di Slipi dan penguasa saat ini kantor PDIP di Diponegoro,” pungkas Igat.

***IGAT

Tinggalkan Balasan