Terkait Jokowi Dukung Ganjar, Presiden Obama Endorse Hillary Clinton Nyapres Biasa Aja Sih

Penulis : Agung Wibawanto

Terkait soal Jokowi yang dianggap cawe-cawe atau terlalu mengurusi proses pilpres 2024. Mulai dari meng-endorse kandidat maupun memimpin partai koalisi pemerintah. Adakah yang salah? Atau ini hanya upaya mendown-grade kandidat yang diendorse Jokowi, sekaligus menaikkan citra kandidat dari koalisi partai oposisi yang berkesan terdzolimi? Atau pula karena iri saja, sebenarnya pingin juga diendorse presiden?

Setiap siapapun sepertinya wajar mendukung salah satu kandidat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinannya. Terlebih jika berasal dari satu partai atau satu kubu yang sama. Itu merupakan aspirasi hak politik sebagai warga negara yang dijamin konstitusi. Tapi, bukankah nanti bisa berkesan tidak fair? Kesan apapun bisa saja dibentuk kemudian menjadi persepsi politik, tergantung di mana posisi berdirinya.

Menurut saya ada beberapa fakta yang tidak terbantahkan sehingga muncul perdebatan “cawe-cawe”. Pertama, tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden Jokowi mencapai 82%, dengan tingkat kepercayaan publik juga tinggi. Kedua, Jokowi memiliki relawan sendiri di luar PDIP. Ketiga, Jokowi memiliki daya mempengaruhi yang tinggi, dikenal sebagai trend setter. Fakta inilah yang dikhawatirkan koalisi oposisi.

Jika fakta tersebut tidak diakui, mengapa harus khawatir? Bayangkan, jika Jokowi itu buruk kinerjanya, tidak dipercaya masyarakat dan tidak memiliki kemampuan mempengaruhi, apa akan ada kekhawatiran itu? Karena yang diendorse presiden kan belum tentu menang juga. Lihat Hillary Clinton yang didukung koleganya di partai Demokrat, presiden Obama. Hillary meski sudah dibantu kampanye oleh Obama (penugasan dari partai), tetap saja kalah oleh Joe Biden.

Misalkan juga kandidat yang diendorse itu seorang yang tidak punya kapasitas sebagai capres, misal Jokowi mengendorse Novel Bamukmin, apakah kandidat lawan perlu khawatir meski tidak diendorse Jokowi? Jadi, substansinya bukan soal endorse, melainkan oposisi sengaja ingin “menyerang” Jokowi dan kandidat dari koalisi pemerintah. Atau sebaliknya berharap menaikkan citra kandidat dari koalisi oposisi agar mendapat simpatik masyarakat.

Pernahkah anda mendengar politic advantage? Itulah yang disebut dengan “keuntungan politik” sebagai penguasa. Presiden memiliki beberapa privilage yang tidak mungkin dimiliki oposan. SBY juga dulu begitu, pernah mengundang koalisi partai pendukungnya ke istana. Bahkan menggunakan istana untuk perhelatan 2 kali mantu SBY. Hanya saja SBY tidak memanfaatkan dengan baik keuntungan yang dimilikinya dalam menentukan penerusnya.

Selain Demokrat tidak memiliki kader yang mumpuni di tingkat nasional, juga internal Demokrat tengah kacau balau di 2014. Bohong jika dikatakan.pemimpin nasional tidak memiliki kepedulian atas siapa penerus yang akan menggantikannya kelak. Hal ini penting untuk keberlanjutan program dan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya. Bangsa ini juga butuh akan keberlanjutan rancangan pembangunan nasional.

Jika dulu disebut dengan GBHN yang diimplementasikan melalui Repelita. Jangan setiap ganti presiden ganti kebijakan nasional, seperti tradisi Mendikbud (ganti menteri ganti kurikulum bahkan ganti buku ajaran). Hal-hal seperti ini pastinya sudah diketahui sebagai politisi. Bahkan yang sekarang oposan, dulunya pernah merasakan sebagai penguasa ataupun partai koalisi penguasa. Bagi partai koalisi pemerintah akan kecipratan advantage tadi.

Presiden atau Perdana Menteri atau Pemimpin di dunia manapun (kecuali Raja/Ratu), selain menjadi kepala negara dan pemerintah, dalam dirinya juga melekat warga negara yang kebetulan memiliki partai politik. Sebagai politisi, dia akan merepresentasikan partainya. Hal ini berlaku umum di seluruh negara, kecuali pemimpin yang independen (non partai). Inilah perjuangan politik bagi partai. Sebisa mungkin mempertahankan kekuasaan melalui konstitusi.

Mengapa, karena ada periodesasi kekuasaan. Tidak selamanya sebuah partai bisa berkuasa. Setiap lima tahun sekali partai akan berkompetisi lagi menentukan siapa pemenang di parlemen dan juga di pimpinan nasional. Sehingga sekali lagi, tidak perlu heran soal cawe,-cawe karena dimanapun sama seperti itu. Setiap kandidat setiap partai memiliki kepentingan untuk menang. Jika merasa tidak adil dengan advantage yang dimiliki penguasa, ya mohon maaf saja.

Jika ingin mendapat keuntungan seperti itu, ya harus berkuasa. Supaya berkuasa ya harus menang. Masa kalah melulu? Istilahnya lagi, “winner takes all” (pemenang akan mendapat segalanya dan pecundang akan kehilangan segalanya). #modemelas.

***Awib Lomanis

Tinggalkan Balasan