Belajar Politik: Kaitan Antara Kedaulatan Rakyat, Partai dan Pemilu

Penulis : Agung Wibawanto

Dalam konstitusi pasal 1 ayat 2 (perubahan) disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.” Penjelasannya, rakyat atau setiap warga negara memiliki hak politik yang sama untuk memilih atau dipilih. Ataupun boleh ikut terlibat di setiap proses politik apapun yang pelaksanannya diatur dalam undang-undang. Artinya apa? Ada seperangkat aturan guna mengatur kedaulatan rakyat tersebut.

Jadi, kedaulatan rakyat tersebut tidak bersifat absolut melainkan diatur. Hal ini wajib dipahami agar tidak terjadi salah pengertian soal kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berlaku melalui mekanisme perwakilan, bermaksud supaya terjadi ketertiban yang tidak mengganggu kepentingan orang banyak (nggak chaos). Namun begitu, konstitusi kita juga menjamin setiap aspirasi rakyat. Rakyat berhak menyampaikan langsung kehendak politiknya tersebut namun tidak menjadi ketentuan ataupun keputusan.

Tentu ini mengingat banyaknya jumlah penduduk yang aspirasinya bisa berbeda-beda, hingga sulit untuk mengatakan bahwa aspirasi tersebut merupakan kehendak seluruh rakyat. Untuk itu, dibentuklah wadah perwakilan tersebut ke dalam sebuah organisasi yang kemudian disebut partai politik. Di alam demokrasi partai tidak tunggal (bedakan dengan komunis), mengasumsikan banyaknya suara rakyat (harapan cita-cita) yang ingin diperjuangkan. Suara-suara rakyat dengan kepentingan tertentu tersebut sebenarnya banyak tidak sih?

Guna mengujinya akan dibuktikan dalam organ partai (maka dibuat seperangkat aturan membuat partai). Jika partai yang benar maka harusnya partai tersebut memiliki konstituen (rakyat) dan juga pengurus di seluruh daerah. Partai bukan sekadar dibuat untuk kepentingan politik elite yang sesaat. Partai A mewakili rakyat yang berkepentingan A, begitupun partai B dan seterusnya. Jika sudah terbentuk partai menandakan lolos uji tahap I suara ataupun kepentingan rakyat benar ada (asumsinya).

Berikutnya ada pembuktian tahap II untuk menguji apakah benar partai tersebut mewakili aspirasi rakyat konstituennya, yakni melalui pemilu. Jika asumsi dalam uji tahap I tadi benar, punya konstituen rakyat, maka semestinya dalam pemilu (uji tahap II), partai tersebut akan dipilih rakyat yang diwakilinya tadi. Kemudian akan dilihat pula seberapa besar sih irisan suara rakyat tadi jika sudah dalam wujud partai? Ada partai yang mewakili suara rakyat tapi prosentasenya kecil.

Ini diasumsikan, suara kepentingan rakyat yang diwakili partai tersebut sesungguhnya jumlahnya sedikit. Begitu sebaliknya jika suara partai besar, berarti rakyat konstituennya lebih besar/banyak. Sebagai penganut sistem.demokrasi, maka peraih suara terbanyak itulah yang menang, ditandai perolehan kursi di parlemen (mayoritas). Jadi sudah jelas kini. Jumlah kursi partai di parlemen sesungguhnya melambangkan jumlah rakyat yang diwakilinya.

Partai yang tidak memiliki kursi menunjukkan kecilnya representasi rakyat terhadap partai tersebut. Sudah banyak terjadi, partai gurem lambat laun lenyap atau hilang, inilah pembuktiannya. Bahwa partai yang benar dan banyak dipilih rakyat akan terus eksis berjuang mewujudkan harapan konstiyuennya. Sedangkan partai yang tidak berbasis kepada rakyat atau suara rakyat, akan hilang dengan sendirinya. Ingin dikatakan, bicara partai itu sesungguhnya bicara rakyat.

Jumlah partai yang banyak berasumsi banyaknya kepentingan rakyat yang berbeda-beda. Begitulah sistem politik dari kedaulatan rakyat yang berjalan di negara kita. Jadi, mengapa harus menjadi anti kepada partai? Bersikap politik untuk anti kepada partai pun sesungguhnya sah dan dijamin konstitusi. Artinya, rakyat atau warga tersebut tidak menyalurkan aspirasinya dengan tidak mengikuti dan tidak mencoblos partai dalam pemilu legislatif.

Hanya saja jumlahnya berapa? Coba bandingkan dengan rakyat yang menyalurkan aspirasinya kepada salah satu partai, misalnya. Bagi yang anti partai seyogianya tidak boleh menafikan suara rakyat yang diaspirasikan melalui partai. Bahkan suara yang anti partai sangat kecil. Jangan katakan, “tapi kan tetap suara rakyat, meskipun kecil?” Benar. Jika berjiwa besar mengikuti sistem demokrasi, maka kita harus menghormati dan mengakui suara rakyat terbanyak dipercayakan kepada partai apa? Mulai paham ya.

Begitu pun dalam pilpres dan prosesnya. UU Pemilu kita tidak mengenal calon independen dalam pilpres. Semua kandidat harus diusung dan didukung oleh partai ataupun koalisi partai dengan syarat PT 20%. Tidak setuju? Ya silahkan saja. Di sini kita bicara hukum positif yang digunakan sebagai panduan bernegara. Jika mau berubah, ya silahkan upayakan pengubahan peraturan tersebut. Selama belum berubah ya hormati aturannya.

Rakyat berhak suka ataupun mendorong kepada kandidat siapapun, yang semuanya akan dicatat oleh partai. Terutama, harusnya setiap partai akan mendengar suara konstituennya, terhadap siapa calon yang layak jadi kandidat presiden. Demikian prosesnya. Setelah partai menangkap apa dan bagaimana suara konstituennya, maka partai menentukan orang tersebut yang akan diusung.

Istilah “petugas partai” sesungguhnya tidak perlu diributkan. Pengertiannya bukan berarti orang itu menjadi boneka partai. Partai itu kan representasi rakyat. Jadi, kader partai itu adalah orang yang ditugaskan partai untuk melayani dan memenuhi harapan rakyat konstituennya. Yang idealnya cita-cita partai itu satu helaan nafas dengan kehendak rakyat. Contoh: Megawati menunjuk Ganjar termasuk mengikuti suara atau kehendak rakyat konstituennya yang lebih banyak milih Ganjar bukan Puan.

Namun begitu memang benar, pada faktanya masih banyak partai yang tidak mendengar suara rakyat, melainkan sebatas hasrat atau keinginan serta ambisi pribadi ataupun elite partainya saja.Hal ini dimisalkan ada orang yang punya ambisi menjadi presiden, terlebih orang tersebut tidak punya partai, siapa yang menugaskannya? Katanya sih “petugas rakyat”, lha rakyat yang mana? Berapa jumlahnya, mayoritas atau minoritas?

Hal itu belum teruji sebagaimana dalam sistem kepartaian yang berjalan. Kemudian apa? Dirinya menugaskan dirinya sendiri untuk mencari partai yang mau mengusungnya menjadi calon. Pada akhirnya pula, dia menjadi petugas dari partai koalisi pengusungnya. Ada pula PSI yang gagal paham soal petugas partai. Dengan bangganya (padahal salah) PSI mengatakan tidak mencalegkan Wamen di kabinet Jokowi yang akan berakhir 2024.

Alasannya, Wamen tersebut merupakan “petugas rakyat”, maka PSI (bangga) melarang kadernya di kabinet untuk mundur dan harus menyelesaikan tugasnya. Pada dasarnya, (tanpa disadari) PSI sudah memberi “penugasan” kadernya untuk tetap di kabinet. Bagaimana jika Wamen tersebut (Raja Juli Antoni) keberatan dan konstituennya lebih suka agar mendaftar caleg (karena sebagai Wamen hanya tinggal setahun lagi)?

Itu artinya Juli Antoni sebagai petugas partai yang harus patuh pada partai tidak boleh menolak. Nah, PSI kejeblos sendiri kan dengan ke-sok-tahuannya? Jika PSI pun mengatakan “petugas rakyat” berapa gelintir rakyat yang diwakili PSI? Bahkan PSI adalah salah satu partai non parlemen. Artinya, suara rakyat yang diwakili PSI tidak cukup untuk duduk di parlemen. Kecil sekali. Demikian penjelasan keterkaitan antara kedaulatan rakyat, partai dan pemilu. Jika kita tidak paham, maka belajarlah, bisa dengan membaca ataupun bertanya.

*** awib lomanis