Suluhnusantaranews. Seperti dikabarkan sebelumnya bahwa Anas Urbaningrum, terpidana korupsi, baru saja bebas dari penjara Sukamiskin. Anas divonis 8 tahun penjara dan masih berstatus bebas bersyarat (wajib lapor). Sementara itu Ketua Umum PKN, I Gede Pasek, menyampaikan akan segera menyerahkan posisi Ketum dari dirinya kepada Anas.
Pasek, beralasan bahwa PKN dibentuk memang untuk menampung ide gagasan politik Anas serta ingin membangun tradisi baru, bahwa jabatan bukan segalanya bagi kader, “Saya ingin membangun kultur politik bahwa dalam politik bukan haus jabatan yang harus ditampilkan, tetapi bagaimana mengatur formasi agar ide dan gagasan bisa berjalan dengan maksimal. Sebab politik itu kontestasi ide gagasan kebangsaan,” ujar Pasek.
Namun begitu, agenda politik tersebut belum bisa dilaksanakan mengingat status Anas sendiri yang belum bebas murni. Status Anas dinyatakan masih merupakan narapidana dan hingga Juli masih wajib lapor sebelum bebas murni sebagai narapidana. Untuk itu Pasek mengatakan akan menunda penyerahan posisi Ketum PKN kepada Anas Urbaningrum.
Agung Wibawanto, pengamat politik dari Yogyakarta, menanggapi sebagai sesuatu yang aneh dan akan menyusahkan diri sendiri,
“Anas punya ambisi politik bukan hal yang baru. Dulu saat menjabat sebagai Ketua KPU kan lanjut masuk ke partai Demokrat lalu menjadi Ketum Demokrat. Yang aneh adalah, mengapa kini Anas berstatus sebagai koruptor ingin diposisikan sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara?” ungkapnya kepada awak media Suluhnusantaranews melalui sambungan telpon.
Agung menambahkan, ada beberapa alasan bahwa ide ini dipaksakan
“Hal ini menunjukkan berpolitiknya Anas semata karena ambisi pribadi, bukan karena aspirasi rakyat pendukungnya. Dia tidak harus dipaksakan menjadi Ketum untuk mengabdi di sebuah parpol. Kedua, partai yang baik adalah partai yang berbasis konstituen, bukan kepentingan elite pengurusnya. Ini partai apa bisa mengganti jabatan Ketum seenaknya tanpa melibatkan anggota dan pengurus lain di daerah?” Kritik Agung.
“Saya tidak tahu jika ada mekanisme seperti itu, atau mungkin AD/ART mereka mengatur adanya sedekah atau wakaf jabatan Ketum kepada orang lain dengan mudahnya. Pasek mengatakan ingin bikin tradisi jabatan bukan segalanya sehingga dia rela jabatannya sebagai Ketum diserahkan begitu saja kepada Anas. Tapi justru menunjukkan jabatan Ketum itu adalah penting dan segalanya bagi seorang Anas,” tambah Agung lagi.
Alasan ketiga yang menjadikan aneh bagi Agung, terkait status hukum Anas sendiri,
“Ketiga, hak politik Anas telah dicabut selama 5 tahun oleh MA, terhitung sejak kebebasan. Jika saja Anas menjadi Ketum PKN sekarang ini, pasti akan merepotkan Anas dan PKN sendiri. Untuk berpolitik kembali menjabat ketua umum memang tidak masalah,” terang Agung.
Yang jadi masalah menurutnya jika daftar bacaleg PKN ditandatangani oleh Anas sebagai Ketum PKN untuk didaftarkan ke KPU.
“Bagaimana mungkin bacaleg didaftarkan, direkom atau diusulkan oleh seorang yang cacat moral dan hukum (narapidana korupsi)? Tentu akan menyulitkan diri sendiri. Rakyat bisa tidak percaya dengan caleg dari PKN karena ada sosok narapidana korupsi di sana, sebagai Ketua Umum lagi?” imbuhnya lagi
Seperti diketahui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam persidangan Anas, mengatakan terkait status hak jabatan politik maupun publik, silahkan publik yang akan menilai sendiri. Sebaliknya, MA dalam kasasi, berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.
“Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali harus dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya,” demikian pandangan MA yang disampaikan Hakim Artidjo Alkostar (alm), ketika itu.
Agung menambahkan, pada dasarnya, hak politik mantan narapidana korupsi seperti Anas masih tetap dimiliki bersamaan dengan hak-hak lain sebagai warga negara yang secara konstitusional diatur oleh UUD 1945. Hanya saja ada pengecualian jika hak tersebut dicabut oleh negara.
“Pencabutan hak politik tersebut tertuang dalam Pasal 35 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalamnya dijelaskan bahwa hak-hak terpidana dalam putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam KUHP atau dalam aturan umum lainnya. Salah satunya adalah hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum,” terang Agung.
Agung juga mengingatkan, bahwa hak politik adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Namun hak itu dapat dicabut pada kasus khusus dengan landasan undang-undang. Hal itu diatur dalam UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 73.
“Saran saya agar Anas istirahat dahulu, tidak perlu terburu-buru. Usianya juga belum terlalu tua, kan? Pupuk kembali kepercayaan publik yang dulu sempat luntur. Lima tahun lagi, silahkan tempur dengan AHY dan saya yakin Anas yang memang,” tutup Agung.
*** Redaksi Suluhnusantaranews (D.Prasetyo)
Komentar Terbaru