Cerpen : Dahono Prasetyo.
Sore itu kami bertemu di pinggir rel kereta
“Mau sampai kapan kamu terus menggeluti dunia hitam itu, Her?” tanyaku membuka pembicaraan serius.
5 tahun lalu aku kenal dia masih sama dengan yang kini diakuinya. Naik turun dari kereta, bis, angkot memburu orang orang yang lengah menjaga harta bendanya. Perawakannya yang rapi, tampan, kulit bersih, jauh dari dugaan tampang penjahat, menjadi senjata andalan mengalihkan kecurigaan para calon korbannya.
“Nggak tau sih mas, tapi setidaknya saya sudah merubah motivasinya. Kalau dulu saya mencari materi sebanyak banyaknya, kini lebih bertujuan memperbaiki hidup orang lain” jelas kawan yang kupanggil Heri itu yang sampai sekarang aku tak tahu nama lengkapnya.
“Maksudnya berubah motivasi gimana? Kalo nyopet sih ujungnya tetap mencari materi. Seberapapun akan habis sebanyak kebutuhanmu yang belum terpenuhi” kalimatku mulai menjurus pada nasihat yang sebenarnya dia sendiri sudah faham benar.
“Hehe, ini sebenarnya rahasia, tapi gak papa saya ceritakan buat mas. Suatu saat kalo saya sudah tidak ada bisa ditulis jadi buku” jawabannya cukup membuat pandanganku yang sedari tadi mengarah 2 garis besi yang memanjang, menjadi beralih padanya. Di warung kopi pinggir rel ini sudah 1 jam lebih kami duduk. Sisa kopi instant di gelasku juga sudah tak panas lagi.
“Ah ngapain nulis cerita orang jahat kalau pelakunya masih belum insyaf. Anton Medan, Johny Indo bukunya laku karena mereka sudah insyaf” lanjutku sambil berdiri memesan kopi baru. Sempat kulihat dia nyengir mendengar jawabanku.
“Ya sudah terserah mas saja. Apa yang saya lakukan selama ini adalah pilihan hidup saya untuk sementara. Semoga kelak ada sesuatu yang bisa merubah jalan hidup saya. Dan itu sudah dan selalu saya fikirkan”
“Kamu kan sudah bukan remaja atau anak anak lagi kan? Seusiamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Jadi cerita rahasianya seperti apa kalo boleh dengar” tanyaku mengajaknya berdialog apa yang ada dalam otak kirinya.
“Mmmm… begini mas, ini saya dapet kemarin sore di Bus Patas AC” kata Heri sambil mengeluarkan sebuah dompet kulit wanita berwarna coklat. Aku sekedar mengerling tak berani menyentuhnya. Sekilas isinya terlihat cukup tebal. Entah karena lembaran rupiah atau alat transaksi lain yang sekarang banyak dimiliki orang.
“Dompet ini milik seorang wanita, isi uangnya cuma 350 ribu-an kemarin. Tapi banyak surat surat penting di dalamnya. Ada KTP, SIM, Kartu ATM dan 4 buah kartu kredit. Besok saya mau ke rumahnya mengembalikan benda ini.” jelas sobatku yang mirip artis sinetron itu serius. Beberapa saat dahiku berkerut membentuk tanda tanya.
“Ya, aku faham niat baikmu yang beraroma busuk itu. Kamu memilih korban lalu berlagak jadi pahlawan demi mengharapkan imbalan. Begitu kan?” tanyaku sambil memandang kereta di kejauhan yang sebentar lagi melintas di depan kami.
“Semua orang akan meyakininya begitu, tapi saya boleh punya niat lain kan? Tujuan saya bukan kepada imbalan atau materi. Saya lebih memilih menciptakan sebuah hubungan berbalas budi dengan cara yang saya bisa” kalimat Heri terhenti sampai disitu, ketika kereta melintas di depan kami lengkap dengan riuh suara besi beradu.
“Bisa kamu jelaskan lebih konkrit, maksudmu menciptakan hubungan berbalas budi itu tadi?” tanyaku kemudian seusai deru kereta menjauh.
“Hehe.. saya akan kembalikan benda yang saya ambil kepada pemiliknya, alasannya saya menemukannya di sebuah tempat. Sebagian besar orang orang itu akan berterima kasih atas kembalinya benda benda sarana duniawinya. Dan semakin saya menolak imbalan materi jasa kebaikan yang saya lakukan, maka hubungan kami akan semakin dekat. Mereka akan menanyakan asal usul, latar belakang atau apapun yang sekiranya menyangkut diri dan kehidupan saya “ jelas pria yang pertama kali aku kenal di kereta. Waktu itu semalaman kami ngobrol apa saja demi membunuh jenuh perjalanan semalaman. Dan dia tinggal bersebelahan kota denganku.
“Lalu rencana apa yang kamu lakukan selanjutnya?” tanyaku mulai tertarik cerita rahasianya.
“Ya saya akan ceritakan tentang diluar kehidupan hitam saya. Kerja serabutan dimana saja, tinggal di sebuah rumah bersama saudara dan beberapa saudara angkat satu daerah. Dan di akhir pembicaraan kami kita saling bertukar nomor telefon sebagai sarana silaturahmi berikutnya. Sepeserpun saya gak akan menerima uang jasa pengembalian barang itu. Karena memang tujuan saya bukan itu”
“Hmmm… kira kira sudah berapa banyak korbanmu? Dan hal baik apa yang kamu dapat dari rencana abu abumu itu?” tanyaku seraya menyeruput kopi instant di cangkir ke dua.
“Saya tidak pernah menghitung mas, tapi lengkap, dari Bos Perusahaan, Pemilik supermarket, Pengusaha, Dosen, Dokter pernah jadi korban saya. Hal baiknya adalah, saya bisa menitipkan adik, saudara atau kawan saya bekerja pada mereka. Sudah 1 tahun lebih saya mendirikan rumah singgah mas?”
“Rumah Singgah? Posko penampungan para pencopet maksudnya?” pertanyaanku memotong kalimat terakhirnya.
“Bukan kok mas. Itu rumah saya sewa pribadi, isinya anak anak pengamen,kuli kuli pasar, pedagang asongan dan orang orang dari daerah yang gagal kerja di Jakarta. Saya jamin gak ada yang berbau kriminal disitu, karena itu peraturan yang saya dirikan disitu”. lanjutnya menjawab pertanyaanku yang bernada prasangka tadi. Dan dia cukup maklum.
“Trus, ngapain saja mereka di Rumah Singgah?” selidikku ingin tahu.
“Saya sediakan guru ngaji di situ. Kawan saya yang bisa musik saya suruh ajari mereka. Ada beberapa komputer yang saya beli untuk mereka belajar apa saja di situ selain main game tentunya. Di halaman samping mereka sulap jadi studio sablon. Kapan kapan mas mesti nengok kesana”
“Lalu apa ada hubungannya dengan para bos bos korbanmu?” tanyaku dengan kerutan di jidat.
“Aku selalu menawarkan anak anak kepada mereka. Entah suatu saat mereka membutuhkan tenaga kerja apa saja saya ada stok. Dan Alhamdulillah anak anak yang saya kirim ke mereka bisa dipercaya dan hidupnya berubah” jawabnya yakin.
“Apakah mereka tahu perilaku kamu sesungguhnya?” tanyaku tajam sambil menatap wajahnya.
“Tidak dan jangan pernah sampai tahu” jawabnya tak kalah tajam.
Sore mulai larut, matahari nampak menguning di ujung rel. Kamipun berpisah sambil menyimpan catatan abu abu. Entah kisah ini menjadi kenyataan baik atau buruk. Aku masih melihat abu abu. Aku ingat satu paragraf di sebuah buku. Saat seseorang yang ingin berbuat kebaikan melalui jalan kejahatan, sama halnya mencuci pakaian dengan air kencingnya sendiri. Bersih namun beraroma tidak sedap. Aku masih memahaminya abu abu.
Pasar Minggu 2005
Komentar Terbaru