Cerpen : Dahono Prasetyo.
Sore tadi menerima 2 undangan acara syukuran. Dari Haji Soleh yang anaknya lulus sekolah dokter dan satu lagi acara slametan khitanan anaknya Pono.
Untuk ukuran kampung, Haji Soleh termasuk tokoh terpandang. Usaha kebon kopi dan peternakan sapinya cukup untuk diwariskan 3 turunan. Anaknya lelaki 2 orang sekolah di kota. Dulu waktu yang sulung diterima masuk Fakultas Kedokteran, acara syukurannya nanggap Orkes Campur Sari. Sekarang syukuran wisuda dokter kemungkinan lebih meriah.
Secara pribadi aku merasa lebih punya banyak kepentingan dengan Haji Soleh. Bukan apa apa, cuma tiap bulan ada uang keamanan ekstra darinya untuk absen uang ronda tiap minggunya. Haji Soleh tidak pernah ikut ronda hanya sesekali mampir di pos jaga. Orang kaya waktunya istirahat lebih penting daripada begadang meniduri malam.
Lain halnya dengan Pono, juniorku dalam dunia per-Hansipan. Meski terhitung Hansip baru, secara ekonomi aku mengakui dia terbukti lebih stabil. Istrinya sama-sama jualan di pasar bareng istriku. Dan Pono sendiri kalo siang sering nyambi jadi tukang bangunan jika ada warga yang memerlukan tenaganya. Kadang kepikir ingin juga bisa mendapat penghasilan tambahan, tapi kondisi fisikku sudah tidak sekuat Pono lagi. Sakit pinggangku masih sering kambuh kalo terlalu berat mengangkat beban. 3 tahun lalu aku jatuh di sungai waktu memancing. Pingganggu keseleo, tapi entah kenapa makin diurut makin sakit.
Kata dokter Puskesmas ada otot tulang punggung yang terjepit, mesti rongent ke RSUD. Bukannya gak mau sembuh tapi pertimbangan biaya pasti gak ada yang gratis meski pakai Kartu Miskin sekalipun.
Antara bingung dan ragu, undangan sama sama jam 7 malam bakda Isya‘. Bagiku Kenduri menjadi berkah makanan tambahan untuk 3 anak dan Istri. Ekonomi “minimalis” sebagai Hansip kampung selama ini hanya cukup untuk makan sekeluarga 2 kali. Pagi dan sore atau siang dan malam. Biaya sekolah 2 anakku yang di SD memang sudah gratis, tapi urusan buku pelajaran sekolah tetap tak ada yang gratis, sampai suatu saat ada pabrik kertas yang peduli pada pendidikan.
Bersyukurnya anak-anak jarang mengeluh jika ada sesuatu yang menurutnya kurang terpenuhi. Emaknya cukup tekun menanamkan hidup sederhana tiap selesai belajar ngaji.
Tak terasa lamunanku berhenti pada jam dinding di ruang tamu yang menunjuk pukul 7 kurang seperempat. Menimbang mana yang harus didatangi, akhirnya kuputuskan hadir di hajatan Haji Soleh. Demi vitamin keluarga apa boleh buat, nasi ayam komplit dalam kardus plus kue kue jajan pasar jadi pertimbanganku. Bukan karena di tempat Pono menunya gak sekomplit itu, tapi namanya acara khitanan butuh amplopan entah cuma 10 ribu, dan di kantong pas cuma ada selembar 10 ribu yang berarti gak ada pegangan apapun untuk besok.
Dengan yakin akan keputusan, bergegas menuju rumah Haji Soleh. Waktu pamit berangkat masih sempet kudengar anak-anak berpesan dibawakan kue untuk bekal sekolah besok. Aku mengangguk yakin.
Di rumah Haji Soleh larut dalam suasana
syukuran. Orang orang hadir memenuhi ruang tamu hingga teras yang kami gunakan duduk lesehan. Sehabis baca doa dan sedikit tauziah kyai kampung sebelah, Haji Sholeh mempersilahkan kami para hadirin
“Bapak bapak dan hadirin sekalian, sekarang saya persilahkan menuju ruang garasi samping. Menu prasmanan tersedia di sana. Saya harap kebersamaan kita Warga Karangmojo ini bisa lebih terjalin di sajian Prasmanan kali ini. Silahkan menikmati sepuasnya, jangan
malu malu nambah” jelas Haji Soleh tanpa panjang lebar.
Aku masih bengong ketika Lik Pardi yang
di sebelahku menepuk pundak mengajaku beranjak dari duduk. Ternyata acara syukurannya Prasmanan alias, makan kenyang sepuasnya di tempat. Bayangan kardus kenduri di pikiraku sekejap lenyap. Tak banyak bahkan tak ada pilihan selain aku ikuti deretan antrian orang orang sambil membawa piring.
Wajah anak-anak dan istriku menunggu kardus hajatan makin memenuhi isi kepala. Hingga kuhabiskan suapan terakhir masih dengan bayangan yang sama. Acara usai, aku kenyang tapi dengan perasaan campur aduk. Makanan habis, aneka kue menyusul ludes tanpa sempat aku selamatkan beberapa potong di saku. Tamu yang hadir di luar perkiraan.
Perjalanan pulang kali ini tidak seringan waktu berangkat tadi. Kaki begitu berat melangkah ke arah rumah saat belum kutemukan alasan yang bisa membuat kenyang penantian mereka malam ini.
Terbayang juga wajah Pono yang mengundangku sore tadi, mewanti-wantiku untuk bisa datang meskipun telat. Kini semuanya berubah
Tiba dalam rumah sudah pukul 11 malam. Siti, Fadil dan si bungsu Sa‘id sudah tidur di pelukan tikarnya masing masing. Tak keluar satu katapun waktu istri menanyakan jatah nasi kardus kenduri yang tak kubawa.
“Acara syukuran di rumah Haji Soleh ternyata prasmanan, bu. Makanan tidak bisa dibawa pulang” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku sambil duduk di ujung balai.
“Ooo… gitu to? Kok tumben ya? Tapi ya sudahlah, pak. Anakmu tadi nungguin sampe ketiduran. Semoga saja besok mereka bangun sudah lupa nasi ayamnya dan kue jajanan pasarnya” ucap
istriku lirih.
Masih sempat kurasakan nada bijaknya masuk telingaku turun ke dada. Hingga tiba tiba pintu luar yang belum sempat tertutup rapat diketuk.
“Assalamu‘alaikum.. Kulo nuwun Kang? Baru dateng dari rumah Haji Soleh ya?
Suara Pono dari balik pintu, bergegas aku hampiri.
“Wa‘alaikum salam. Wah iya Pon, maaf tadi aku tidak bisa dateng ke rumahmu, soalnya eee….anu… “jawabku tak
selesai mencari alasan.
“Ya wis gak papa Kang. Ini saya bawain untuk sampean, jatah kardus kendurennya, ada kue juga di situ. Nggak banyak sih, tapi lumayan bisa buat sarapan anak-anak besok. Yang penting doanya aja untuk si Aji semoga cepet sembuh sunatnya” kalimat Pono meluncur dan memotong jawabanku yang tak selesai.
Dan aku masih terpaku bersandar di pintu tak bergeming, saat Pono pamit usai menyerahkan 2 kardus kenduri.
***
Mei 1997
Komentar Terbaru