Cerpen : Dahono Prasetyo.
Terakhir kami bertemu 2 tahun lalu. Di sini di tempat yang sama.
“Jadi kamu sekarang sudah tidak tinggal dirumah Om Liem lagi?” tanyaku sambil memandang hamparan permadani rumput.
Sore itu menjamunya di pinggiran lapangan golf. Ada jalan kecil masuk ke area tertutup itu dari salah satu sudut pagar tembok yang rubuh. Di sinilah aku biasa duduk menjamu tamu, kawan atau siapapun yang mampir ke rumah kontrakan yang hanya berbatasan tembok dengan lapangan golf. Ruang tamu yang luas dan asri sekaligus gratis.
“Ya sudah setahun ini aku menetap ke Jakarta. Kadang numpang di kontrakan temen yang deket lokasi kerjaku” kawanku mulai bercerita sambil meneguk kopi yang sengaja kami bawa dari kontrakan.
Dia sahabatku di Jogja,rumah kami berdekatan. Belakang rumah dia adalah halaman depan rumahku. Om Liem yang kutahu memang bukan orang tua ataupun saudaranya. Semua orang di kampungku tahu kalo dia anak angkat Om Liem. Di asuh semenjak bayi hingga dewasa layaknya anak kandung sendiri. Kuliah di Universitas Negeri bersama 2 anak kandung Om Liem yang usianya di bawah dia.
Om Liem punya 2 Minimarket dan 5 Hotel kelas Melati yang gak pernah sepi dari wisatawan.
“Lha kamu malah jadi repot pake cari kerja di Jakarta, emang Om Liem sudah kelebihan tenaga kerja? Bukankah seingatku dulu kamu pegang keuangan di Minimarketnya yang di deket pasar?” pertanyaanku meluncur apa adanya.
“Masanya sudah lewat,mas” jawabnya
“Lewat gimana” tanyaku sambil mengkerutkan jidat
“Aku mau cari ibuku di Jakarta saja, atau setidaknya bisa ketemu saudaraku yang sesungguhnya” jawabnya lirih namun jelas kudengar.
“Ooo..gitu?? Emang kamu ada masalah sama Om Liem?” tanyaku coba menebak
“Aku diusirnya setelah ketahuan memakai uang supermarket tanpa ijin”
Jawabannya ternyata tak sesederhana tebakanku. Aku pernah dengar cerita dari Om Liem langsung kalo dia sebenarnya anak bekas Pembantunya. Orang tua Om Liem punya pembantu wanita, dihamili oleh sopir pribadi ayah Om Liem. Si Sopir kabur tak bertanggung jawab. Setelah lahir si bayi diminta Om Liem yang waktu itu sudah 5 tahun nikah tapi belum punya anak.
Ketulusan Om Liem mengasuh anak terlantar itu membuahkan hasil, istri Om Liem hamil, 2 anak kembar lelaki dan perempuan melengkapi kebahagiaan keluarga itu. Usaha mereka maju pesat seolah rejeki dirubuhkan bertubi tubi dari langit. Dalam kepercayaan orang China, anak asuh itu membawa Hoki. Dan Om Liem menyadari bahwa itu berkah dari mengasuh bayi tak berdosa yang sekarang dewasa dan duduk menunduk di sebelahku.
“Lha kok sampe pake duit gak ijin, emang uang sakumu kurang? Pake buat apa duitnya?” aku bertanya sambil merasakan ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
“Cuma 2 juta duit dari toko. Dulu pacarku minta dibeliin motor, ya karena Om gak setuju kami pacaran makanya aku gak berani minta” jelas dia
“Trus kamu diusir gitu?”
“Iya, mas. Aku merasa salah dan sudah minta maaf, tapi kata katanya menyakitkan banget. Gak bisa saya ceritakan mas. Mungkin waktu itu Om lagi capek ato ada masalah, aku ketahuan mencuri. Ya udah aku kena murka habis habisan” kawanku bercerita tak berani menatapku. Entah malu ato masih ada sisa bersalah yang melekat di ingatannya.
“Tapi kan gak sampai ngusir begitu dong. Kan kamu anak kesayangannya meskipun bukan anak kandung” potongku.
“Tapi ya sudahlah, aku pikir memang sudah waktunya aku gak bergantung terus sama orang yg bukan siapa siapaku. Dari peristiwa itu saya jadi belajar mandiri. Alhamdulillah di Jakarta saya laku kerja meski kecil-kecilan.” alibinya mengalahkan keingintahuanku.
Sore itu kami menghabiskan sisa matahari yang luruh perlahan sambil bercerita apa saja. Cerita yang seolah tanpa pamrih. Layaknya kita saling menjadi buku harian.
“Hanya saja akhir akhir ini aku seperti dihantui rasa berdosa yang tidak tahu harus bagaimana memohon ampun” dia berucap sambil menghela nafas. “Si Lia adik tiriku masih sering kirim kabar. SMS minggu kemari mengabarkan kondisi kesehatan Om Liem yang makin memburuk”
“Apa itu yang kamu maksud dosa tapi tak tahu bagaimana memohon ampunnya?” tanyaku mulai sedikit faham isi hati dan kepalanya.
“Iya,mas. Semenjak aku pergi dari rumah itu, masalah datang bertubi tubi. Bisnis Om Liem satu persatu bangkrut. 2 hotelnya kebakaran dan Minimarketnya yang deket Malioboro ludes dibobol pencuri. Sebulan kemarin aku diam diam pulang ke Jogja. Minimarketnya deket pasar sudah ganti pemilik. Hotelnya yang di perempatan jalan Kaliurang tutup dan ada tulisan Gedung Ini Dalam Pengawasan Bank. Sejujurnya aku sudah memaafkan beliau. Tapi mungkin Tuhan terlanjur menghukum ketulusan yang diingkarinya,mas” kalimatnya terakhir membuatku tak berkedip menatap padang hijau di depan.
“Pulanglah” kataku sambil menatap matanya yang terlihat sedikit sembab.“Kembalilah ke rumah dimana kamu dulu dibesarkan. Setidaknya kamu ada disisinya saat dia ingin bertobat ” kataku mencoba menyimpulkan persoalan dia.
Kalimatku terakhir membuatnya menengok dan menatap mataku. Beberapa detik kami tak berkedip, sampai dia mengangguk sarat keyakinan.
Dan hidup kami kembali berputar pada titian masing masing. Seorang sahabat datang berbagi kisah, sahabat pergi menyimpan hikmah.
Dan.. senja-pun makin sempurna redupnya.
Jatiwaringin, September 2000
Komentar Terbaru