Cerpen : Dahono Prasetyo.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, undangan reuni aku terima berdekatan dengan perayaan Lebaran. Moment Hari Raya senantiasa identik dengan ajang silaturrahmi keluarga maupun kawan lama. Bagi yang masih tinggal di kota yang sama tinggal atur jadwal menghadirinya. Namun menjadi persoalan tersendiri bagi yang tinggal di perantauan atau berada di lain kota tempat acara reuni.
“Rin, kamu sudah dapat undangan Reuni SMA? Mau datang nggak?” bunyi SMSku pada Arini, kawan SMA yang kebetulan sama sama tinggal di Jakarta.
“Masih mikir mikir dulu, Pras. Aku masih setengah hati untuk bertemu temen SMA, meski sebenernya kangen banget” jawabnya di balasan SMSku.
“Iya aku tahu permasalahanmu. Ya sudah lusa kita ketemu ngobrol di tempat biasa. Oke?” balasku
Pertemuanku dengan Arini di ibukota terjadi secara tidak sengaja. 3 tahun lalu saat aku masih jadi sopir taxi tembak, alias keliling malam cari penumpang. Di depan sebuah hotel kelas melati di kawasan Glodok, seorang wanita berdandan sexy menghentikan taxiku.
Saat itu jam 3 malam, dialog basa basiku menanyakan nama dan asal wanita itu berujung ingatan kami bahwa kita pernah satu kelas di SMA. 15 tahun selepas lulus SMA merubah ingatan kita masing-masing, hingga malam itu tersambung kembali.
Tanpa harus menanyakan apa profesinya, kita sudah sama sama memahami realitanya. Kalaupun dia menjadi wanita malam, aku anggap itu permasalahan hidupnya yang belum tuntas dan tidak berhak aku mencampurinya. Sempat beberapa kali dia jadi penumpang langgananku. Tapi akhirnya kuputuskan untuk menghidarinya, demi menjaga perasaanku sendiri yang prihatin tak bisa berbuat apa-apa setiap kali mengantar dia dari hotel, kadang menjemputnya dalam keadaan mabuk berantakan.
“Kamu tahu sendiri kan, Pras. Profesiku seperti apa, meskipun temen temen SMA nggak ada yang tahu selain kamu. Aku cuma malu sama perasaanku sendiri” katanya sambil menyeruput kopi mix setibanya kami di warung kopi ujung jalan Gunung Sahari, tempat mangkal taxiku. Pemilik warungnya kebetulan teman akrab Rini juga. Sama sama pernah kerja di café.
“Sejak kapan kamu malu dengan profesimu? Bukannya kamu tiap hari kan kerjanya telanjang?” jawabku tanpa basa basi.
“Ah kamu bukannya kasih masukan malah nambahi malu aja” balas dia datar tanpa ekspresi.
“Solusiku sederhana saja. Kamu datang Reuni pake jilbab. Gampang kan?” saranku serius sambil memandang matanya yang asik menerawang.
Dan acara Reuni SMApun berlangsung dengan sukses. Tak kuduga dia datang juga dengan pakaian jilbab gamis yang terlihat mahal. Aku sempat kaget karena lupa akan saranku sendiri. Saat mata kami beradu pandang, sekelebat dia memberi kode jari telunjuk di bibirnya. Aku balas senyum sambil berlagak mengernyitnya jidat. Basa basi kerinduan bersama kawan kawan berakhir manis, indah dan tanpa prasangka.
Hingga aku balik ke kota perantauan beberapa kali SMSku padanya tak ada balasan satupun. Beberapa bulan kemudian tiba tiba sms darinya mengajak ketemuan minggu sore di warung kopi langganan kami.
Sesuai janji jam minggu jam 4 sore aku sudah berada di warung kopi, membayangkan curhat apa lagi yang akan aku dengar dari perempuan itu. Lebih setengah jam dia tak juga muncul, aku putuskan jalan saja, nanti malam toh juga bisa janjian lagi kalau dia mau.
Namun mendadak niat kuurungkan begitu melihat seorang wanita turun dari Bajai. Dandanan gamis dengan jilbab biru muda panjang sampai ke dada.
“Heh… kok lihatnya kayak kesambet Jin gitu, Pras? Sudah lama ya nunggunya? Maaf tadi acara pengajiannya agak molor selesainya. Jadi telat janjian sama kamu” kata wanita itu sambil asik menikmati muka bengongku.
Selanjutnya dialog kami sore itu tak ada yang luar biasa, kecuali rasa bersyukurku pada Arini. Salah satu masalah hidupnya tuntas.
Cideng, Agt 2004
Komentar Terbaru