Penulis : Erika Ebener.
Permasalahan kelangkaan dokter spesialis, terutama spesiali gigi dan paru, sudah menjadi momok pembicaraan dunia kedokteran di Indonesia. IDI sebagai organisasi professional para dokter di Indonesia seakan tak membuka mata untuk melihat seberapa besar kebutuhan negara yang berpenduduk lebih 250 juta jiwa ini akan berbagai macam tenaga medis dokter.
Logikanya, semakin banyak manusia menempati satu wilayah, semakin banyak pula masalah kesehatan yang dihadapi. Sayangnya, di Indonesia ini, tak semua Universitas Negeri membuka fakultas kedokteran.
Ada sekitar 100 Universitas negeri di Indonesia. Sembilan puluh dua Universitas memiliki Fakultas Kedokteran. Tetapi hanya 20 universitas yang membuka prodi dokter spesialis.
Sementara kebijakan yang mengatur bahwa setiap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) harus bahkan wajib memiliki 7 dokter spesialis, kenyataanya negara tak mampu memenuhi aturan yang dibuatnya sendiri.
Pada saat Indonesia diselimuti pandemi covid-19, dokter spesialis paru adalah ahli kesehatan yang sangat dibutuhkan. Namun faktanya, sudah bertahun-tahun Ketua Kolegium Paru baru bisa mengupayakan untuk membuka prodi spesialis paru di beberapa universitas negeri ternama seperti Universitas Gajah Mada.
Ini memang mukjizat, dengan minimalnya para ahli atau dokter special Indonesia tetap menjadi negara yang cukup berhasil melampaui kondisi tersulit di masa pandemi covid-19.
Lalu siapa yang paling bertanggungjawab atas kecarut marutan dunia kedokteran di Indonesia? Kementerian Kesehatan kah? Konsil Kedokteran Indonesia-kah? Ikatan Dokter Indonesia-kah? Atau universitas-universitas yang meluluskan para dokter kah? Bukan mereka semua
Yang paling bertanggungjawab atas permasalahan dunia kesehatann Indonesia adalah kita, rakyat Indonesia, yang telah membuat semua aturan dan undang-undang tentang Kesehatan melalui wakil rakyat kita di DPR-RI. Kita pula yang memilih dan menentukan Presiden RI yang memiliki hak prerogative untuk memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi Menteri Kesehatan RI, yang harus bekerja sama dengan DPR RI untuk membentuk undang-undang atas dunia Kesehatan di Indonesia, salah satunya Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Di dalam Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 1 ayat (3) menyebut Lembaga Konsil Kedokteran Indonesia yang pada Pasal 6 menyebutkan fungsi dan tugasnya yaitu untuk mengatur, mengesahkan, menetapkan dan membina dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran. Pasal sebelumnya yaitu Pasal 5 menyatakan guna dari Konsil Kedokteran Indoneia ini adalah untuk melindungi masyarakat, penerima jasa pelayanan Kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan.
Ini undang-undang yang bicara. Apakah kemudian Konsil Kedokteran Indonesia melaksanakan undang-undang ini? Jika Pasal 5 dan Pasal 6 dari Undang-Undang No.29 tahun 2004 benar-benar dilaksanakan, mungkin kasus seperti Prita yang dilaporkan Rumah Sakit OMNI karena telah mengeluhkan kekecewaannya atas pelayanan Kesehatan yang diterimanya, tidak akan menjadi pesakitan dan Rumah Sakit OMNI tetap berdiri tegak.
Penasaran untuk mengetahui apa siapa dan bagaimana Konsil Kedokteran Indonesia? Ada 21 pasal, mulai dari pasal 5 hingga pasal 25 yang menerangkan dan menjabarkan tentang maksud dan tujuan, tugas dan fungsi, susunan keanggotaan hingga kewenangan untuk menghidupkan dan/atau mematikan ijin praktek dokter.
Di bawah Konsil Kedokteran Indonesia ada lembaga yang disebut Kolegium Kedokteran. Lembaga Kolegium Kedokteran inilah yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk meyetujui atau tidak menyetujui dibukanya prodi profesi dokter dan dokter gigi, juga prodi dokter spesialis yang dalam penyusunan standar profesinya berkoordinasi dengan organisasi profesi, siapa lagi kalau bukan IDI dan PDGI, Kolegium, Rumah Sakit, Departemen Pendidikan dan Depatemen Kesehatan (Pasal 26).
Dari Pasal 26 ini, kita bisa melihat bahwa posisi Kementerian Kesehatan disebutkan paling akhir setelah departemen pendidikan.
Karenanya, di atas saya menyebutkan bahwa pihak yang paling bertanggungjawab atas kecarut marutan dunia Kesehatan di Indonesia adalah rakyat Indonesia. Mirisnya, kita sebagai yang memberikan kewenangan pada DPR RI dan pemerintah RI untuk membentuk undang-undang, sering menentang isi dari apa yang kita buat dengan cara-cara yang tidak konstitusional. Misalnya ngoceh di podcast-podcast, demo di jalan, mengeluh ke DPR RI, atau menulis kritikan-kritikan di media dan media sosial.
Kita seakan lupa keberadaan Mahkamah Kostitusi yang menjadi arena yang tepat untuk mengubah aturan apapun yang telah dibuat dan disahkan tetapi menimbulkan kerugian pada masyarakat banyak. Salah satunya masalah Kesehatan yang menjadi momok bagi negeri ini.
Memang bukan cerita kosong bahwa berperkara hukum di Mahkamah Konstitusi sekalipun, bukan suatu pekerjaan yang mudah cepat dan murah. Peliknya berperkara hukum membuat rakyat lebih memilih ngedumel, nrimo atau demo di jalan. Kalau didengarkan ya sukur, kalau tidak, minimal mereka sudah berusaha. Namun ngedumel, nrimo atau demo di jalan hanya menyelesaikan kasus per kasus.
Berbeda cerita jika rakyat secara bersama-sama mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang dipandang banyak merugikan masyarakat banyak. Jika gugata uji materi berhasil dimenangkan, maka perubahan aturan akan mengubah permainan dan kemungkinan besar memperkecil kerugian dapat dicapai untuk jangka waktu yang cukup pajang.
Di sisi lain, kusutnya dunia Kesehatan di Indonesia menguntungkan mereka yang memiliki kemampuan pengobatan alternatif. Karena membuka praktek pengobatan alternatif tak perlu melibatkan IDI apalagi Konsil Kedokteran Indonesia.
Bayangkan jika di Indoesia tak ada orang yang memiliki kemampuan indra keenam yang mampu memberikan pengobatan pada suatu penyakit dengan cara pengobatan alternatif, maka sempurnalah alasan para dokter untuk bersikap layaknya Tuhan dalam menentukan hidup dan matinya seorang pasien karena tidak memiliki pilihan atas cara-cara pengobatan lain di luar apa yang mereka sarankan.
***
Komentar Terbaru