Penulis : Dahono Prasetyo
Berawal kekecewaan karena perceraian orang tuanya, saat sang ayahnya menikah lagi dengan perempuan muda, dan ibunya memilih pulang ke kampung halamannya di luar Jawa, Tien memutuskan mengadu nasib ke Jakarta. Bukan untuk pelarian, namun Tien bertekat mandiri di usianya 17 tahun. Menjadi pembantu rumah tangga salah satu alternatif tercepat yang bisa Tien lakukan. Sambil menunggu keberuntungan di peluang lainnya. Setidaknya sudah ada orang yang mau menampungnya makan dan tidur.
Pada seorang pedagang Cina di bilangan Petak Sembilan Glodok, Tien menjadi pembantu. Mengurus dapur sambil membantu majikannya yang pedagang kue, cukup jadi penyembuh kecewa pada masalah keluarganya di Semarang. Hari harinya menjadi berarti dengan kesibukan meski baru sebatas fisik. Beberapa resep membuat kue dia pelajari dengan gratis dari sang majikan yang kebetulan cocok dengan semangat bekerja Tien. Rajin, patuh tidak pernah mengeluh.
10 tahun berjalan, Tien semakin pandai meramu resep masakan Cina selain kue kue basah pesanan relasi majikannya. 2 orang perempuan dan seorang lelaki anak majikan yang seusianya sudah menganggap Tien seperti bagian dari keluarga. Kesetiaannya mengabdi dan kepribadian yang tulus jarang mereka temukan pada pembantu pembantu mereka sebelumnya. Tien-pun menetapkan hatinya untuk tidak berpindah kerja. Tien nyaman dengan dunia barunya, meskipun jauh dari keluarganya.
Hingga pada suatu subuh, Tan anak lelaki majikannya pulang dalam keadaan mabuk berat. Sudah menjadi kebiasaan setiap malam minggu, Tan pergi bermain judi hingga larut malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Di depan pintu rumah Tan berteriak mita dibukakan pintu. Tien yang tidur di bawah dekat dapur selalu hafal dengan suara panggilan Tan. Kedua Majikan dan anak anak lain yang tidur di lantai atas tak pernah mendengar apalagi peduli dengan kebiasaan Tan.
Dengan ketulusan seorang pengabdi, Tien memapah Tan dari depan pintu yang sudah tak mampu berjalan. Mengganti bajunya yang bau kotor muntahan, membersihkannya kemudian menidurkannya di sofa panjang. Uang yang berserakan di saku hasil kemenangan Tan berjudi tak sepeserpun hilang. Tien merapikan dan menaruhnya di tempat yang pasti terlihat saat Tan bangun.
Subuh itu Tan berusaha tidak tidur meski matanya terpejam merasakan pusing efek minuman keras. Tan merasakan tangan Tien di tubuhnya. Sedikit terbuka, Mata Tan bisa melihat Tien merapikan uang kemenangan besarnya malam tadi. Tan baru sadar akan pesona Tien yang sesungguhnya.
Bulan berganti. Pada suatu minggu seusai orang tua dan adik kakak Tan pulang dari gereja, Tan memberanikan diri berbicara kepada orang tuanya. Tan ingin menjadikan Tien sebagai istrinya. Tan berjanji akan meninggalkan hobynya berjudi dan mabuk jika diijinkan menikahi Tien. Pada awalnya Ayah Tan tidak setuju karena bertentangan dengan tradisi orang Cina. Ayah Tan tidak mau anak lelaki satu satunya menikah dengan orang pribumi, pembantu mereka pula. Namun kesabaran Ibu Tan memberi pemahaman serta masukan dari anak anak yang lain, akhirnya Ayah Tan luluh. Tien yang tulus mengabdi tak kuasa menolak permintaan Tan dan keluarganya. Dan pernikahan Pembantu dan anak majikanpun berlangsung dengan sederhana.
Tan dan Tien tinggal di sebuah rumah kontrakan. Tien membuat kue, Tan berkeliling keluar masuk pasar menjajakan kue. Relasi dagang orang tua Tan bersimpati dengan usaha keluarga baru itu. Kue buatan Tien tak beda dengan buatan Ibu Tan yang terkenal jago memasak. Bahkan beberapa kue dirasa lebih nikmat daripada buatan Ibu Tan. Usaha mereka berkembang pesat. Tan semakin rajin berkeliling. Kini dia berganti keluar masuk Mall menawarkan kue di tempat yang lebih bergengsi. Sesama orang Cina cenderung saling percaya kepada sesamanya. Para pemilik toko kue kelas Mall menerima kue Tan, yang pada awalnya mengaku buatan Ibunya. Mereka suka, pembeli suka, harga tinggi, Tan dan Tien mengumpulkan banyak untung.
Rumah kontrakan yang mereka tempati akhirnya dibeli. Mereka bangun 2 lantai. Bagian bawah untuk membuat kue, bagian atas untuk tidur Tan dan Tien yang sedang hamil tua. Mereka ingin anaknya nanti nyaman bermain di tempat yang jauh dari kompor, bumbu, adonan dan aneka bungkus kue. Begitulah semuanya berjalan lurus tanpa ujian yang tak mereka lewati. Rumah selesai dibangun, anak Tien lahir perempuan. Mereka bersuka cita, semakin giat bekerja. Beberapa karyawan direkrut untuk membantu membuat kue yang jumlahnya ratusan setiap harinya. Kue Tien menguasai beberapa Mall dengan harga yang fantastis. Tien benar benar menjaga kualitas dan rasa kue buatannya, karena pembelinya adalah orang berduit yang butuh rasa, tak peduli harga tinggi.
Di tahun ke tiga mereka memiliki rumah, anak ke dua Tien lahir. Bayi lelaki dengan kulit dan wajah Cina warisan leluhurnya. Tan begitu bersuka, orang tua Tan lebih berbinar dengan hadirnya keturunan laki laki dalam keluarganya. Kebahagiaan mereka lengkap, usaha maju makin menjadi. Rumah di sebelah mereka terbeli setelah pemiliknya pindah ke luar kota. Tahun berikutnya anak ketiga lahir. Bayi Perempuan mungil nan montok. Usaha kue Tien makin sukses. Tan sudah tidak repot berkeliling menawarkan kue. Relasi sudah banyak. Pesanan datang lewat telefon. Karyawanpun bertambah banyak. Keuntungan materi mereka dapat hanya dengan bekerja di rumah. Anaka anak tumbuh sehat dan ceria.
Hingga anak pertama Tien berusia 17 tahun terjadi sebuah musibah. Dokter memvonis gadis remaja itu menderita kanker ganas. Usia bertahan hidup diprediksi medis tak lebih dari 6 bulan lagi. Segala upaya medis dilakukan. Rumah sakit termahal se-Indonesia didatangi demi upaya kesembuhan sang buah hati. Tien dan Tan tak memperdulikan berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Sang Gadis hanya pasrah pada upaya orang tuanya. Di waktu yang hampir bersamaan, orang tua kandung Tien di Semarang sakit keras juga. Keluar masuk Rumah Sakit berupaya menyembuhkan raga. Tien tabah menjalani ujian ini. Biaya Rumah Sakit dia tanggung untuk ayah kandung yang pernah mengecewakan menceraikan ibundanya saat Tien remaja. Tapi dialah ayah kandung Tien yang menjadikannya ada. Masa lalu memberi hikmah hingga di kehidupan Tien kini.
2 orang yang dicintainya sedang berjuang melawan maut. Tien tetap membuat kue. Tien dan Tan tak kenal menyerah, mereka menjalani dengan ikhlas. Akhirnya sang ayah dipanggil sang Khalik saat anak perempuan Tien kritis di ruang ICU. Satu ujian selesai dilewatinya, sang anakpun semakin menurun kondisi raganya. Prediksi dokter meleset beberapa bulan lebih lama. Tepat di hari ulang tahunnya ke 18, Tien merelakan anak perempuannya menghadap Maha Kuasa. Di tahun yang sama, ayah Tan menyusul menghadap Sang Pencipta karena sarangan jantung. Sungguh tahun tahun terberat dalam perjalanan hidup Tien dan Tan.
Tien tetap membuat kue. Harta simpanan mereka bertahun tahun ludes. Hanya menyisakan dua rumah dan perabotan memasak kue. Hari hari dijalaninya seolah memulai lagi dari nol. Semangat mereka tetap sama, demi melanjutkan hidup. Kerja keras mereka setelah jatuh secara ekonomi menuai hasil. Dagangan kue Tien semakin laris. Ribuan kue dibuatnya setiap hari bersama 20 karyawannya. Ekonomi mulai stabil bahkan cenderung meningkat. Anak lelakinya menikah setelah lulus sarjana. Pesta pernikahan digelar meriah untuk ukuran pedagang kue. 3 tahun kemudian anak bungsunya menyusul menikah seusai wisuda. Selanjutnya berturut turut hadir 3 cucu menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang Tien dan Tan yang melengkapi kebahagiaan dengan syukur.
November 2015
Sudah beberapa tahun aku tak merasakan seharu hari ini. Aku cuma salah satu kerabat jauh. Persaudaraanku dengan Tien bukan sedarah. Hanya aku yang sedari dulu nekat mendekatinya. Sekedar numpang makan dan tidur saat berbujang di ibukota atau sejenak menghilang dari tagihan pemilik kamar kostku. Numpang mandi usai berpeluh lelah sisa seharian menjadi penggembira demo reformasi. Meminjam beberapa botol ramuan untuk obat memar dan benjol di beberapa bagian tubuh. Meminta uang saku bekal ke Senayan, Semanggi dan beberapa kampus. Tien yang selalu menitip pesan agar tak lupa berhati hati. Nasihatnya melebihi ibuku sendiri yang tak pernah tahu sedang apa anaknya pergi ke Ibukota.
Aku kembali mengingat kenangan itu. Awal 2015 di depan peti Jenasah yang diturunkan perlahan, aku sibuk menahan air agar tidak jatuh membasahi lubang kuburnya. Tien berpulang dengan damai. Sakit komplikasi ginjal memisahkan raga dan jiwanya.
Masih kuingat teriakannya kepada para karyawannya sesibuk apapun untuk segera membuat kopi, saat melihat aku datang. Masih jelas kuingat Tien selalu menyediakan sayur dan lauk khusus tanpa cabe hanya untukku yang tak doyan pedas. Aku tak akan lupa saat pulang larut malam, Tien yang selalu menempelkan tulisan petunjuk makanan yang masih ada di almari, khusus untukku meski belum tentu aku pulang ke rumahnya.
Tien, setulusnya seorang wanita yang tanpa pamrih kepada siapapun.
Tien yang kini nyaman di rumah Tuhan bebekal aneka kebaikan.
Tien yang tak disadarinya telah mengajariku tentang menyederhanakan hidup dengan Cinta dan Kesetiaan.
***
Komentar Terbaru