Penulis : Agung Wibawanto
Anies pernah mengatakan bahwa dia bekerja dalam senyap dan hasilnya tidak terlihat tapi terasa. Nah lho, ini retorika baru untuk menghindar dari todongan fakta apa yang sudah dia lakukan?
Awalnya saya ingin mencoba memahami apa yang dimaksud Anies. Memang ada sih konsep yang disebut membangun jiwa dan rasa, bukan semata fisik. Intinya kira-kira (kalau dalam keluarga, misalnya), gak apa-apa kita gak punya barang-barang tapi hati dan jiwa kita tenang dan bahagia. Subhanallah… pasti dianggapnya mulia sekali.
Cerita semacam ini akan banyak dikagumi jemaah yang setia mendengarnya. Tapi coba sampaikan kepada rakyat miskin urban perkotaan. Kepada buruh-buruh pabrik. Kepada petani dan nelayan. Benarkah rakyat gak butuh pembangunan fisik yang otomatis juga kepada materi, asalkan hati senang? Bedakan hidup zuhud dengan pelit ya.
Konsep senang dan bahagia yang dipersepsikan Anies dengan apa yang dibayangkan rakyat ini yang mungkin menjadi gap besar karena sangat berbeda. Jika komunitas pengajian, lalu ormas keagamaan, mungkin saja bisa sama, karena kebutuhan hidup bagi mereka hanya ibadah, selebihnya tidak ada. Mungkin lho ini.
Para pendukung Anies kebanyakan berprinsip rezeki sudah ada yang ngatur. Itu benar, tapi kemudian mereka beranggapan tidak harus bekerja keras. Kebanyakan hanya berharap dari infak ataupun menggalang sumbangan dari masyarakat. Mobilitas mereka dengan begitu menjadi terbatas. Hidup hanya di lingkup situ-situ saja.
Maka tidak heran jika Anies tidak perlu banyak membangun sarana prasarana fisik. Perbanyak saja bangun tempat ibadah lalu adakan acara-acara keagamaan, pengajian, majelis taklim dsb. Itu konsep membangun jiwa dan rasa agar bahagia versi Anies. Benarkah cukup dengan begitu lalu kita semua (rakyat) bisa bahagia gembira?
Memang, saya juga selalu mengatakan betapa indah dan tenang hidup di desa yang meski tidak memiliki apa-apa tapi hati rasanya bahagia. Kesannya seperti sama dengan konsep bahagia Anies. Tapi setelah saya pikir-pikir, orang atau warga yang bisa agak tenang hidupnya itu adalah mereka yang sudah tidak produktif lagi (rata-rata).
Mereka yang tidak perlu berpikir hari ini makan apa, karena sudah diurus anak mereka yang sudah dewasa bahkan berkeluarga. Mereka juga tidak mikirkan biaya pendidikan anak lagi. Mereka yang tidak perlu kemana-mana lagi. Tinggal cukup duduk tenang, ngopi, ngerokok, jagongan. Paling ya momong cucu. Selebihnya mereka beribadah. Itu yang saya lihat di kampung.
Namun bagi mereka yang usia produktif tetap dituntut untuk berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk kebutuhan rumah tangga. Bagaimana dengan ibadah? Ya mereka lakukan tapi hidup ini kan bukan semata urusan akhirat? Saat di dunia juga mereka dituntut untuk ibadah memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak cukup hanya berdoa dan pengajian.
Lalu kini, apa pentingnya Anies membahas soal infrastruktur jalan? Bahkan kritik program jalan TOL Jokowi? Memangnya Anies menyumbang bangsa ini juga dengan membangun jalan? Di mana? Coba adu program pembangunan fisik itu dengan yang selevel, sesama Gubernur Jateng, misalnya. Berapa sekolah dan RS juga puskesmas yang dibangun?
Sarpras umum ini juga dibutuhkan warga agar tersenyum lebih bahagia lagi. Bukankah Anies membanggakan lapangan JIS juga turut menggunting pita peresmian gardu listrik? Beberapa monumen juga dibangun Anies meski tidak berusia lama. Itu semua bicara membangun fisik tidak hanya membangun jiwa. Itu baru hal kecil tingkat kelurahan, apalagi untuk membangun bangsa negara?
Jadi, kesannya seperti naif. Jokowi pernah bilang, “Kalau mau bicara mudahnya saja, tinggal belikan sembako lalu bagi-bagi ke seluruh rakyat terutama yang miskin. Gampang dan rakyat pasti senang. Tapi kan bukan begitu mengelola dan membangun sebuah bangsa besar seperti Indonesia. Kalau cuma menghabiskan mudah sekali, tapi setelah itu bangsa ini bubar,” kata Jokowi.
Manusia Indonesia itu sendiri tidak sekedar memiliki hati dan jiwa, tapi juga memiliki raga (fisik). Bagaimana mungkin jiwa kita bahagia jika raga atau fisik terlantar? Karena apa yang dirasakan raga akan terbawa kepada jiwa yang bernaung di dalamnya. Kecuali memang rakyat kita sudah menjadi biksu yang melupakan dan tidak memikirkan duniawi lagi. Kalau saya jujur belum siap.
*** Awib
Komentar Terbaru